Bagian yang paling tidak pantas dicatat dan banyak tidak diketahui publik, dari gerakan tahun 1974 adalah kekacauan gaya hidup para mahasiswa pada era itu. Gaya hidup bergaya flower generation yang sangat bebas dan liar. Tinggal berminggu2 di kampus tanpa pernah pulang ke rumah, terlalu banyak pesta dibalik berbagai merek diskusi, kekacauan perkuliahan, dsb-nya. Membuat cerita2 miring banyak beredar seperti seorang wanita anak pejabat yang hamil tanpa kejelasan siapa bapaknya, mewabahnya miras, keranijingan narkoba, dan sebagainya. Hal yang kemudian mendorong lahirnya Normalisasi Kehidupan Kampus (NKK) dan Badan Koordinasi Kemahasiswaan (BKK) pada tangan 1978 saat Daud Jusuf jadi Menteri Pendidikan dan Kebudayaan. Jadi salah apa bila ada yang bilang NKK/BKK itu lahir karena mahasiswa jadi terlalu kritis terhadap pemerintah. Yang tepat NKK/BKK lahir justru, karena mahasiswa jadi tak bisa lagi membedakan mana rumah, tempat kos, sanggar kegiatan, dan ruang kuliah! Sebuah generasi yang di FISIP UI melahirkan jargon yang melankolis Buku, Pesta, dan Cinta. Dan benang merahnya sama: kebanggaan yang berlebihan terhadap jaket kuning almamater!
Cerita selanjutnya bagi saya ya hanya seperti sequel film saja. Ketika era Reformasi 1998, anak2 UI ketinggalan kereta dan kehilangan momentum. Saat peran kesejarahan mereka dicuri oleh anak2 Trisakti yang relatif lebih kota dari mereka yang di terpencil di Depok. Era yang justru melahirkan borok2 sejarah pada figur2 seperti Rama Pratama, Fadli Zon, atau Fachri Hamzah yang legendaris kedogolannya itu. Dan bila akhir2 ini, ada anak2 UI yang masih mau tampil di jalanan, itu adalah perpanjangan kai dan tangan dari kakak2 pembina-nya yang tak lelah titip pesan untuk mendirikan negara khlafah itu. Tak ada lagi semangat humanisme ala Gie di dalamnya! Jadi kalau hari2 ini, ada sekelompok orang yang pasang tampang di depan Monumen Proklamasi untuk menolak pengangkatan Jokowi-Maruf apa yang aneh? Jangan lupa di dalamnya ada seorang bernama Sri Bintang Pamungkas, seorang aktivis nir-prestasi yang dari masa ke masa abadi sebagai penentang pemerintahan yang sah. Bagi saya ia adalah protoype Social Justice Warior (SJW) sesungguhnya! Ia adalah seorang yang terobsesi pada jargon SJW yang disebut “new political correctness”. Perubahan sebaik apapun yang dilakukan oleh pemerintah yang sah adalah salah dan usang. Agenda SJW sejenis ini melulu membangun dan menjaga reputasi pribadi. untuk diakui sebagai warrior. Mereka adalah lone wolf, yang hanya memiliki circle yang kecil-kecil. Naluri warrior mereka membuat mereka tidak bisa disubordinasi, baik secara politik maupun organisasi. Jadi bisa dimengerti jika mereka tidak tertarik berorganisasi yang serius dan lebih suka mencatut masa lalunya. Termasuk nama besar almaternya secara enteng, tanpa malu, dan perasaan bersalah. Romatisme yang sangat picisan, yang sial betul justru dilakukan di masa tuanya yang kelabu…
Jaket kuning saya masih tersimpan terhormat di gantungan abadi lemari pakaian saya. Tak kan pernah lagi, ia akan keluar dari sarang terakhirnya. Ia adalah kenangan masa pendek terindah, yang saya ikhlaskan berlalu dan menetap dalam kenangan terindah saya. Apa yang dimaknai sebagi Veritas, Probitas, Iustitia: yang berarti Kejujuran, Kebenaran, Keadilan.
Jaket kuning bukan barang dagangan untuk mencari simpati publik, apalagi kalau itu dagangan politik dan agama!
Untuk denmas Joni Ariadinata, yang mengenyek ke-UI-an saya….
Sumber : Status Facebook Andi Setiono Mangoenprasodjo
Comment