by

Rocky Gerung Itu Fiksi

 

Kita akan bedah kasus ini. Saya berjanji tidak membawa-bawa istilah rumit, Anda tidak perlu buka kamus atau browsing, semua ditutur dengan diksi sederhana. Sebab begitulah orang pintar (ijinkan saya memuji diri supaya didengar si Rocky ngehe itu), Ia mampu menyelesaikan sesuatu yang rumit dengan bahasa sederhana. Sembari dengan itu, berjanjilah bahwa Anda akan mengikuti penjelasan saya dengan seksama. Namun, sebelum kita mulai, ada baiknya Anda siapkan secangkir kopi di meja.

Sudah?

Mari kita mulai.

Seturut KBBI, definisi fiksi adalah:
1 cerita rekaan (roman, novel, dsb); 
2 rekaan; khayalan; tidak berdasarkan kenyataan.

Seturut Meriem Webster, definisi fiction adalah: 
a : something invented by the imagination or feigned; specifically : an invented story 
b : fictitious literature (such as novels or short stories) 
c : an assumption of a possibility as a fact irrespective of the question of its truth 
d : a useful illusion or pretense 
e: the action of feigning or of creating with the imagination

Singkat kata fiksi berhubung-erat dengan karangan, rekaan, khayalan, imajinasi, illusi, dan asumsi. Ia berseberangan dengan realitas atau sesuatu yang real. Definisi ini sebetulnya jebakan keji. Pernah membayangkan tubuh Asia Carrera dan karenanya Anda muncrat setelah itu? Khayalan tersebut fiksi, tapi yang dihasilkannya non-fiksi.

Tapi mari kita jelajahi saja takrif di atas. Bentuk fiksi yang paling akrab adalah novel atau cerpen.

Apa yang Anda lakukan ketika mulai menulis sebuah kisah? Anda menciptakan tokoh-tokoh, membuat karakterisasi satu per satu lengkap dengan tinggi badan, warna rambut, dan ciri-ciri fisikal lainnya agar lebih mudah bagi Anda ketika membayangkan kalimat-kalimat yang meluncur dari tokoh-tokoh tersebut.

Sesudah itu Anda membuat plot, menyusun pembabakan, menulis semacam sinopsis tiap babak. Klaar? Anda mulai menulis.

Pertanyaan saya: apakah karakterisasi tokoh-tokoh Anda betul-betul baru? Maksud saya, apakah karakter seperti itu tidak ditemukan di belahan mana pun dari dunia ini? Saya meragukannya. Katakanlah saya membangun karakter Kenisha dalam novel saya. Saya beri deskripsi fisikal: tinggi 175cm, berkulit putih, berambut panjang sebahu dengan warna hitam, berhidung mancung, beralismata tebal seperti alis saya, berbulumata lentik, tatapannya tajam, memiliki belahan di dagu, berpayudara 34C, dan seterusnya.

Lalu saya beri deskripsi karakter: menyukai kalimat-kalimat panjang ketika menjelaskan sesuatu, seringkali memulai kalimat dengan adverbia (kata keterangan) ketika berdebat, ramah, suaranya mirip Anne Hathaway, doyan meremas bahu lawan bicara untuk mengirim ketenangan, menyukai warna biru, menyukai malam ketimbang siang, dan lain-lain dan sebagainya.

Pertanyaan: manakah dari ciri-ciri fisikal maupun karakter Kenisha yang betul-betul baru? Tak ada. Paduan semua itu banyak kita temukan di berbagai kawasan. Saya sebetulnya tidak menciptakan tokoh khayalan melainkan mengarang, meng-compose potongan-potongan karakter untuk menyatu di dalam Kenisha.

Sekarang, saya masuk ke alur cerita.

Novel “Adagium: Namaku Kenisha” saya buka dengan Kenisha yang keluar dari mobil dan melangkah ke dalam Tom Bradley international airport. Headset terpasang di telinga, ia mendengarkan lagu “Jejak Hening”. Bahunya naik-turun seturut irama lagu. Ia masuk ke terminal, menyapu-pandang suasana di sana, yang berisikan sekian baris check-in counter, mencari sesosok wajah. Tak lama kemudian dia melihat Ruben dari kejauhan melambai-lambaikan boarding pass. Mereka bertemu, berbincang, tertawa, berciuman, dan seterusnya.

Pertanyaan: mana dari tuturan di atas yang sepenuhnya baru? Anda belum pernah melihat seorang gadis keluar dari mobil, melangkah ke terminal dengan mendengarkan lagu, dan bahunya naik-turun? Pasti pernah. Belum pernah melihat sepasang kekasih berciuman di Tom Bradley airport? Pasti pernah. Jadi mana dari rangkaian adegan tersebut yang belum pernah Anda temukan? Tak ada. Adegan seperti itu pernah ada di Tom Bradley, atau di Soekarno-Hatta atau di Heathrow. Bedanya, dalam tuturan ini gadis itu bernama Kenisha.

Penyusunan tersebut, dalam menulis cerita, disebut composing, mengomposisikan, mengarang. Penulis menggabungkan berbagai karakter dan kejadian dan dialog yang boleh jadi kita temukan dalam hidup sehari-hari. Bedanya, dalam kisah saya susunannya, urut-urutannya, tak sama, tapi potongan-potongannya serupa.

Sekarang saya bawa Anda meninjau penulisan biografi.

Ada banyak cara memulainya. Seorang penulis kadang tak menuntun diri dengan panduan apa-apa ketika memulai sesi wawancara dengan sang tokoh. Dia datang, menyusun jadwal 24 kali wawancara @2 jam, dan bertanya apa saja. Setelah selesai, ia mendengar seluruh hasil wawancara berulang-ulang. Dari situ ia menarik benang-merah berupa story-line. Dan garis cerita tersebut ia susun berdasarkan sebuah tema—mungkin sebuah judul—yang ia tetapkan.

Dengan tema atau judul itu ia membuat pembabakan. Setelah itu ia mencomot sepenggal potongan wawancara dan menempatkannya di bab tertentu. Demikian seterusnya. Dua potongan wawancara yang sebetulnya bertautan bisa jadi ia taruh di bab berbeda seturut pembabakan. Anda sering menemukan ini dalam tehnik flash-back: 2 potongan yang bertautan ditaruh di scene berbeda.

Penyusunan tersebut, dalam menulis cerita, disebut composing, mengomposisikan, mengarang.

Lalu di mana letak perbedaan menulis novel dengan menulis biografi?

Ketika menulis novel Anda punya kebebasan menyusun (composing) tokoh dan cerita. Saat menulis biografi kebebasan Anda dibatasi oleh kisah yang sudah tersedia. Namun satu kesamaan berlangsung dalam keduanya: Anda menyusun potongan-potongan ke dalam kanvas yang disediakan.

Kalau dalam menulis biografi terselenggara juga apa yang disebut composing atau mengarang, kenapa kita tak boleh menaruh gelar “fiksi” padanya? Kita tunda dulu sejenak.

Sekarang kita beri gelar “karangan bebas” pada penulisan novel, dan “karangan terikat” pada penulisan biografi. Tapi kita sepakat dalam kedua kegiatan tersebut terjalankan apa yang disebut mengarang.

Bagaimana dengan menulis berita? Apa sebetulnya yang mau Anda ceritakan dari partai Juventus vs Real Madrid di perempat final Liga Champions kemarin? Pertandingan berjalan 90 menit. Apakah Anda mau menceritakan detik demi detik sepanjang 5.400 detik? Tentu tidak. 32 halaman koran tak akan cukup menampungnya. Anda memilih momen demi momen untuk dituturkan. Anda menyusun dramaturgi dalam tulisan untuk mempermainkan emosi pembaca. Pilihan atas momen-momen yang Anda cuplik adalah versi Anda, susunan Anda, komposisi Anda, karangan Anda.

Sama halnya ketika Anda bertutur tentang perjalanan dari kantor ke rumah yang bermasa 2 jam, 120 menit, 7.200 detik. Anda menceritakan detik demi detik? Teman Anda berbincang pasti meninggalkan meja untuk mencari kesibukan lain.

Anda memilih momen demi momen. Gak cuma itu, untuk membuat kisah lebih seru, alur tuturan pun tak Anda bikin linear, mungkin zig-zag. Semua itu adalah susunan Anda, komposisi Anda, karangan Anda.

Perjalanan ke rumah, hidup seorang tokoh, pertandingan Juventus vs Madrid yang Anda tuturkan adalah events yang bersifat nyata, adalah kejadian yang real. Tapi ketika semua itu Anda tuturkan, kisah itu menjadi versi Anda, komposisi Anda, karangan Anda, sehingga dengan demikian FIKSI Anda. Ya, fiksi. Perlu bukti?

Andai Anda menyaksikan langsung partai Juventus vs Real Madrid dan Anda duduk di tribun barat, sementara Steven Gerrard duduk di tribun timur, bisakah kita pastikan dua orang tersebut akan menutur kisah dengan komposisi serupa, dengan karangan yang sama? Pasti TIDAK. Apa yang membedakannya?

Suasana di sekitar Anda duduk membentuk perasaan tertentu di hati. Suasana itu berbeda antara Anda dengan Gerrard. Intensitas emosi dalam menanggapi setiap adegan yang terbentang akhirnya juga berbeda. Belum lagi dengan masa lalu Anda. Gerrard, misalnya, punya dendam terhadap Real Madrid karena ketika ia memimpin Liverpool mereka pernah dikalahkan. Sementara tak ada dalam diri Anda yang ditawan entah oleh Madrid atau Juventus.

Tak cuma berutang kepada masa lalu penulis, kata Muna Panggabean, teks juga berutang kepada masa lalu pembaca. Ketika Anda menulis judul berita “Meski kalah, Real Madrid Masuk Ke Semi Final” pembaca A dan pembaca B menanggapinya dengan perasaan berbeda. Buat A, kata “kalah” terdengar menyakitkan karena masa lalunya, barangkali, dihias berbagai kekalahan. Buat B, kalah tak penting. Ia membaui peruntungan saat bertemu penggalan “Real Madrid Masuk Ke Semi Final”.

Komposisi, plot, alur, bahkan pilihan kata pun menghasilkan sensasi berbeda. Belum lagi kalau kita masukkan tipografi serta seberapa lebar margin kiri dan kanan ke dalam perhitungan. Stilistika ternyata ikut jadi penentu.

Jadi, bukan hanya novel, bukan sekadar cerpen, atau puisi, atau film, ternyata berita, biografi, atau laporan, juga berstatus fiksi. Don’t get me wrong. Events itu real, nyata, betul-betul terjadi. Tapi ketika Anda tuturkan, ia berubah status menjadi fiksi. Mereka dituturkan dengan versi Anda, pilihan kata Anda, komposisi Anda, karangan Anda.

Jangan heran kalau 15 tahun lalu Muna Panggabean melansir sebuah kredo: “Karena Berita Adalah Cerita”.

Persolannya, ngapain Rocky Gerung perlu bertanya kepada hadirin ILC dan pemirsa tentang apakah Kitab Suci adalah Fiksi? Apa urusannya?

Pertama, itu talkshow bertema polhukam. Hadirin juga berlatarbelakangkan bidang polhukam. Kedua, berbalas pantun Jokowi-Prabowo gak ada hubungannya dengan agama atau kitab suci. Ketiga, kalau semua tuturan adalah fiksi, kenapa Ia tak bertanya kepada hadirin: apakah berita surat kabar adalah fiksi? Atau, apakah ILC adalah fiksi? Atau apakah pidatonya malam itu adalah fiksi? Kenapa ia memilih “kitab suci”? Dia sudah kecentilan, butuh perhatian, butuh belaian? Njirrr.

Berikutnya, apa yang saya sampaikan di atas bukan hal baru. Seperti kata Toni Sidjaya, Muna Panggabean sudah menjelaskannya di sebuah mailing list pada 15 tahun lalu. Itu makanan sehari-hari berbagai budayawan, para Buddhists, linguists, juga filsuf. Gak heboh-heboh amat. Di kalangan mereka pidato Rocky malah terhitung basi. Masalahnya, tak satupun dari mereka yang berada dan berpihak ke PKS, atau HTI, atau 212.

Kalau Rocky berpendapat seperti itu, kenapa dia berdiri berseberangan dengan kita? Rocky ini filsuf, budayawan, atau lonte lanang?

Lebih jauh lagi, jangan-jangan dia penjahat?

Catatan kaki: karangan tidak sama dengan khayalan, fantasi, lamunan. Perhatikan frasa “karangan bunga”.

 

(Sumber: Facebook Sahat Siagian)

Comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

News Feed