by

Rizki dan Kebutuhan

Saya masih ingat betul saat sekolah di MI (setingkat SD) sekitar tahun 1998 sampai 2000-an. Saat itu uang saku saya hanya 100, sesekali 200. Jarang sekali dapat uang saku 300-500. Orang tua hanya mampu memberi segitu. Uang segitu sangat kecil. Hanya bisa buat jajan es lilin. Untungnya sekolahnya dekat dengan rumah sehingga kalau istirahat bisa pulang ke rumah jika lapar dan haus. 

SPP saat di MI hanya sekitar Rp. 1000-3000. Tapi anehnya, seringkali saya nunggak. Orang tua tetap merasa kesulitan untuk membayar SPP tanpa menunggak. Tapi alhamdulillah bisa lulus juga akhirnya tanpa memiliki tanggungan ke sekolah.

Tahun 2003 saya masuk MTs (setingkat SMP). Sebenarnya awalnya tidak yakin bisa meneruskan sekolah karena membayar SPP di MI saja kesulitan. Tapi orang tua meyakinkanku agar tetap optimis untuk terus melanjutkan sekolah. Meskipun dengan seragam bekas dan sepeda butut, akhirnya saya bisa sekolah di MTs yang letaknya di pusat kota. Hanya sekolah swasta dan siswanya tidak terlalu banyak. Rata-rata yang sekolah di situ adalah berasal dari kalangan menengah ke bawah. 

Saat MTs uang sakuku naik menjadi 500-1000 rupiah. Jarang sekali mendapat uang saku lebih. Kadang saya berfikir kenapa pas MI orang tua tidak bisa memberi uang saku sebesar itu, namun pas saya MTs kok mampu? Tapi uang segitu juga sangat kecil. Rata-rata uang saku teman adalah 3000-5000 rupiah. Karena sekolah jauh, maka saya tidak bisa pulang ke rumah saat istirahat. Mau tidak mau saya harus jajan meskipun dengan uang saku 500. Hanta dapat ketupat 1 dan bakwan. Seringkali saya kelaparan di sekolah.

SPP yang harus dibayar setiap bulan saat MTs sekitar 20 sampai 30 ribu rupiah. Cukup besar jika dibanding SPP saat MI. Namun hebatnya, orang tua tetap bisa membayar meskipun sesekali menunggak. Saat itu saya hanya bertanya dalam hati, pekerjaan orang tuaku tetap sama tidak ada yang berubah (petani), tapi ternyata mampu menbayar SPP yang jumlahnya lebih besar dibanding saat MI. Jujur saya merasa masih lebih memprihatinkan saat di MI dibanding MTs.

Akhirnya saya lulus dari MTs. Keinginan untuk melanjutkan sekolah sangat besar. Tapi saya tidak memaksa orang tua karena paham kondisinya. Namun ternyata orang tua terus mendorong untuk melanjutkan sekolah. Akhirnya dengan susah payah, tahun 2006 saya bisa masuk ke MA (setingkat SMA) dengan uang pangkal 1 juta rupiah. Saya tak mengerti kenapa orang tua mampu membayar uang pangkal yang jumlahnya cukup besar.

Uang saku saat MA naik menjadi 2000 sampai 3000 rupiah. Jarang sekali dikasih 5000 rupiah. SPP yang harus dibayar sekitar 65 sampai 85 ribu rupiah. Meskipun kebutuhan sekolah semakin naik, akhirnya saya tetap bisa lulus tanpa tanggungan meskipun sesekali nunggak. Uniknya lagi, uang yang saya miliki lebih besar dibanding saat MTs. Saya pun merasa masih lebih memprihatinkan saat di MTs dibanding MA.

Seperti yang sudah-sudah, saya tak yakin bisa melanjutkan pendidikan karena paham dengan kondisi orang tua. Namun sekali lagi akhirnya saya tetap bisa masuk kuliah bahkan sambil nyantri di pesantren. Uang saku yang dikasih orang tua tidak lagi harian, tapi bulanan. Terkadang cuma dikasih 200-300 ribu sebulan. Jarang sekali lebih dari itu. Tapi ketika harus bayar semester atau syahriah pondok, selalu saja orang tua mampu membayar. Akhirnya saya lulus kuliah tepat waktu dan saya juga merasa masih lebih memprihatinkan saat di MA dibanding saat kuliah.

Setelah lulus s1, saya sama sekali tidak ada gambaran bisa s meskipun sangat ingin. Bisa dapat kerja aja sudah syukur. Namun ternyata takdir Tuhan tak bisa dicegah. Akhirnya saya bisa ngelanjutin s2 sambil kerja. Tak pernah pusing memikirkan semesteran dan biaya tesis. Semua berjalab begitu mudah sampai lulus. Saya merasa saat s2 sangat mudah, tidak seprihatin saat s1.

Dari pengalaman pribadi ini, saya sangat yakin Allah sudah menjamin rizki hamba-Nya hanya saja mayoritas berdasar kebutuhan, bukan keinginan. Saya punya banyak teman yang sudah menikah dan punya anak. Secara dhohir pekerjaan temanku tidak meyakinkan. Tapi nyatanya mereka bisa membangun rumah tangga dan rumah sebenarnya dengan bahagia. 

Meyakini bahwa rizki kita sudah dijamin oleh Allah SWT bukan sekedar untuk memotivasi diri agar terus optimis dan bersemangat menjalani kehidupan, namun itu merupakan bagian dari keimanan. Orang yang masih ragu akan datangnya rizki, sama saja belum yakin bahwa Allah Maha Pemberi rizki.

 

(Sumber: facebook Saefudin Achmad)

Comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

News Feed