by

Ridwan Kamil dan Syahwat Politiknya

Penolakan yang Kerdil

Salah satu alasan mengapa Ridwan Kamil banyak ditolak dengan pilihan politiknya ini karena dirinya di-back up oleh partai pendukung penista agama. Ia didukung oleh salah satu pemilik stasiun TV yang identik dengan pendeskreditan agama Islam.

Sehebat apa pun seorang pemimpin, jika sudah berkoalisasi dengan penista agama, maka wajib untuk ditinggalkan. Sungguh alasan yang sangat tidak berdasar alias kerdil sekerdil-kerdilnya.

 

Jujur, saya justru tambah merasa risih mendengar alasan penolakan seperti itu. Pertama, sampai hari ini Partai NasDem tidak pernah terbukti menjadi partai pendukung penista agama. Lha, wong yang menista agama siapa coba? Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok? Apa buktinya?

Kedua, kalaupun memang iya, bisakah itu menjadi dasar penolakan yang utama? Sungguh, tak ada bukti valid yang menunjukkan bahwa dukungan dari partai penista agama membuat suatu pemerintahan di suatu wilayah menjadi hancur. Tak pernah ada dalam sejarah.

Alasan lain yang juga menjadi dasar penolakan Ridwan Kamil adalah soal konsistensi dan independensi.

Ya, Ridwan Kamil ditolak karena dianggap tidak konsisten secara politik. Ini persis dengan apa yang juga dialami oleh Ahok di Pilkada DKI Jakarta. Sebelumnya, keduanya sama-sama mengaku akan maju dalam kontestasi politik berjalur independen. Tapi apa yang terjadi? Keduanya memilih untuk diusung oleh partai.

Apakah benar ini bentuk penistaan terhadap konsistensi? Saya rasa tidak. Karena, soal konsistensi bukan hanya soal kata-kata saja, melainkan yang lebih utama terletak pada sikap. Dan persis pada titik inilah syahwat politik seorang Ridwan Kamil berfungsi. Pun demikian dengan sikap Ahok di Pilkada DKI Jakarta.

Bahwa keduanya, Ridwan Kamil dan Ahok, sama-sama ingin mengejar mimpinya sebagai pelayan rakyat di daerah pemilihan masing-masing. Bahwa Ridwan Kamil ingin menyelesaikan segala persoalan yang kini melilit Jawa Barat, sebagaimana Ahok yang ingin terus membenahi Jakarta dari segala persoalan yang juga kini melilit Ibu Kota, mulai dari persoalan banjir sampai perilaku koruptif di kalangan pejabatnya. So, bukankah ini sikap konsisten?

Terkait soal independensi, atas dasar apa kita bisa menilai seseorang independen atau tidak jika yang bersangkutan memilih strategi politiknya dengan harus berkoalisi dengan partai ini-itu? Sekali lagi, ini soal strategi kemenangan. Bahwa setiap orang ingin menang dalam sebuah pertarungan. Selama cara yang digunakan tidak mengkhianati proses, maka apa salahnya jika ia memilih untuk berkoalisi dengan partai tertentu atau tidak?

Lagi pula, mendapat dukungan dari partai, bukankah itu adalah sunnah dalam pertarungan politik? Dengan kata lain, tak ada “dosa politik” jika ini yang dijadikan pilihan. Namanya juga sunnah, bukan?

Mari, tak perlulah nyinyir-menyinyiri. Jika hal ini yang terus kita ributkan, kapan kita akan menjadi bangsa yang benar-benar merdeka? Kemerdekaan itu hanya bisa diraih dari sejauhmana kita mampu menggunakan daya berpikir dan bersikap kita secara merdeka pula.

Membatasi orang lain atau diri sendiri adalah bentuk ketidakmerdekaan alias ketidakbebasan. Bagaimana bisa kita merdeka jika kebebasan saja tidak bisa kita miliki dan kuasai? Bagaimana bisa merdeka jika kerjaan kita hanya terarah untuk saling batas-membatasi seperti itu? Mustahil! **

Sumber : qureta

Comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

News Feed