Romo Kiai Taufiq, yang juga termasyhur sebagai Mursyid Thariqat Naqsabandi di Pekalongan, memancarkan raut kharisma yang mendamaikan siapa pun. Tutur kata kiai yang mengaji kepada mendiang Kiai Masduqie Lasem ini lembut. Perilakunya santun. Sangat tenang, sampai-sampai ketenangannya membekukan siapa pun yang berdiri di hadapannya, hingga tak kuasa untuk tidak membungkuk hormat. Namun, Kiai Taufiq pun tak segan untuk lebih merendah menyalami orang-orang.
Tamu-tamu istimewa, para habaib, kiai, dan gus, diterimanya sendiri di Ndalem, sampai meluber ke serambi depan dan samping. Kiai Taufiq sendiri pula yang memersilakan para tamu itu mengambil hidangan. Nasi putih, nasi samin (nama lain nasi kebuli), iga bakar, kikil, sop, ayam goreng, garang asem, acar, gurami asam manis, pisang, jeruk, dan aneka minuman disantap bersama, namun Kiai Taufiq justru tak mengambil apa pun. Ia terus berjalan memeriksa kebutuhan tetamu.
Ini pulalah kepemimpinan yang semakin jarang kita dapati di negeri ini. Setelah seluruh tamu menikmati hidangan dan beramah tamah, kemudian satu per satu berpamitan, barulah Kiai Taufiq datang menghampiri saya dan Zastrouw, untuk meminta ditemani makan malam. Itu pun masih tertunda satu jam lagi karena arus manusia yang ingin bersalaman ngalap berkah sang kiai belum juga surut meski sudah tengah malam. Dengan kesabaran teramat sangat, ia menerima mereka.
Kiai Taufiq membuka percakapan sebelum kami makan. “Siapa tahu, nanti kalau saya ditanya di pintu surga tentang apa alasan saya sehingga berhak masuk surga, saya akan jawab saya pernah makan bersama orang-orang saleh seperti Anda berdua,” ucapnya. Tentu saja, kami tertunduk malu menyaksikan sikap tawadhu Kiai Taufiq. Ia kemudian menyuap nasi samin dan bestik daging sapi perlahan. Sampai habis. Tak bersisa selain sepotong tulang kecil. Tak ada yang tertinggal di piring. Licin!
Bahkan, demi memastikan seluruhnya telah dimakan tanpa sisa, Kiai Taufiq pun mengambil kerupuk. Mengusapkannya ke seluruh bagian piring, lalu memakannya. “Sedikitnya, ada enam hadits yang jelas-jelas menerangkan tentang makan tidak boleh mubadzir. Biasanya, saya usapkan tahu ke piring, lalu saya makan. Saya jilat jari-jemari sebelum saya cuci. Kita tidak pernah tahu di bagian mana dari makanan yang kita santap itu yang berkah,” jelas Kiai Taufiq, seraya mengutip hadits.
Telah puluhan tahun pula ia menjaga diri untuk tidak batal wudhu. “Tak banyak yang bisa saya amalkan dari ajaran Islam. Saya baru mampu menjalankan thaharah (bersuci),” tutur Kiai Taufiq. Betapa tidak mudah untuk selalu merendahkan diri di hadapan Allah dan merendahkan hati di hadapan sesama manusia. Romo Kiai Taufiq, dengan kepemimpinannya yang santun dan sederhana, mencontohkan pada siapa pun yang hadir dalam reuni para pecinta Nabi Muhammad SAW itu.
Hari-hari ini, kita merindukan pemimpin yang meneladani pemimpin terbaik umat manusia, yaitu Nabi Muhammad SAW. Pemimpin yang halus budi pekertinya, senantiasa memerhatikan rakyatnya, tak lelah menjaga dan menemani mereka dalam kepatuhan dan ketaatan kepada Ilahi, mengharapkan dan mengikhtiarkan kebaikan bagi kemanusiaan. Reuni-reuni semacam ini, terlebih jika diadakan oleh para pecinta Nabi Muhammad SAW, bisa digelar kapan pun dan di mana pun, juga di Monas pada 2 Desember 2018.
Tentu, dengan satu catatan, yaitu reuni itu, atau apa pun penamaannya, diadakan untuk mendekatkan diri pada Allah dan Rasul-Nya, menyatukan hati dalam iman dan amal baik, menjaga kedamaian dan perdamaian bangsa dan negara, dan tak dimaksudkan untuk mempolitisasi agama demi kekuasaan dunia. Sebagai pewaris nabi, alim ulama memegang peran paling utama untuk meneruskan tugas luhur, yaitu menyempurnakan akhlak mulia dan menjadi rahmat bagi semesta raya.
Sumber : Status Facebook Candra Malik
Comment