Oleh: Pepih Nugraha
Saya menghormati orang yang memiliki keyakinan (agama) berbeda dengan yang saya yakini, bahkan menghargai orang yang tak bertuhan (atheis) sekalipun. Namun ketika satu simbol agama (apapun agama itu) yang diyakini ratusan juta bahkan miliaran orang dinistakan sedemikian rupa, saya selalu mengutuk aksi ini.
Apalah makna kutukan saya terhadap prilaku orang seperti Rasmus Paludan, politikus sayap kanan di Swédia yang melakukan aksi demonstratif membakar Al-Quran di Stockholm. Sebagai politikus, motif Paludan jelas, mencari dan mencuri perhatian orang, khususnya konstituennya. Tetapi aksi Paludan kali ini terkait dengan Turki.
Perdana Menteri Swedia Ulf Kristersson mengecam aksi pembakaran kitab suci yang dibaca miliaran Muslim sedunia itu, ia menyebut aksi yang berakibat pada meningkatnya ketegangan dengan Turki itu sebagai “sangat tidak sopan”.
“Kebebasan berekspresi adalah bagian mendasar dari demokrasi. Tapi apa yang legal belum tentu sesuai. Membakar buku yang suci bagi banyak orang adalah tindakan yang sangat tidak sopan,” kata Kristersson melalui Twitter, sebagaimana dikutip AFP, Senin 23 Januari 2023.
“Saya ingin mengungkapkan simpati saya untuk semua Muslim yang tersinggung dengan apa yang terjadi di Stockholm hari ini,” imbuh Kristersson.
Paludan tentulah orang terpelajar. Mana mungkin dia menjadi politikus garis keras kalau kurang ajar. Aktivitas masa lalu Paludan diketahui sebagai orang yang pernah menggelar sejumlah demonstrasi anti-Turki. Meski tidak mewakili negara, sudah pasti banyak negara Muslim marah dengan aksi pembakaran Al-Qur’an ini.
Selain Maroko, Turki, Indonesia, Arab Saudi, Uni Emirat Arab dan Dewan Kerjasama Teluk dan Organisasi Kerjasama Islam mengutuk aksi Paludan ini
Indonesia mengatakan bahwa “tindakan penistaan terhadap kitab suci telah melukai dan menodai toleransi beragama”, bahwa “kebebasan berekspresi harus dilakukan secara bertanggung jawab”.
Selama ini prilaku intoleran dengan merusak simbol keyakinan selalu dialamatkan kepada kaum fanatis keyakinan tertentu yang kurang berpendidikan. Dengan kasus Paludan dan Charlie Hebdo di Perancis sebelumnya, kaum terpelajar nan pintar seperti Paludan pun melakukanya dengan cara sangat memalukan.
(Sumber: Facebook)
Comment