Oleh: Made Supriatma
Rasisme Terang-terangan di UGM: Sejak kasus penembakan oleh Kopassus di penjara Cebongan, saya mendapati Yogyakarta yang lain. Tiba-tiba dia menjadi kota yang asing untuk saya. Saya meninggalkan kota yang pernah saya huni tiga belas tahun ini ketika Suharto jatuh. Dan, sejak itu tidak pernah kembali kecuali untuk kunjungan singkat.
Sejak kasus Cebongan itu — dan sebelumnya riuh-rendah ‘keistimewaan’ Yogyakarta — saya juga melihat bagaimana rasisme semakin mengental. Lebih sulit untuk orang dari Indonesia bagian timur — yang berkulit lebih gelap, rambut keriting, dan bicara bahasa Indonesia lebih cepat — untuk hidup di kota ini. Banyak keluhan dari mereka tentang kesulitan untuk mencari pondokan. Ada-ada saja alasan untuk menolak mereka.
Secara lebih khusus, rasisme ini menimpa anak-anak yang berasal dari Papua. Mereka dianggap kurang sopan, tukang mabuk, bodoh, dan kurang ajar. Di sosial media, saya pernah melihat bagaimana orang Papua dikatai sebagai ‘munyuk’ (monyet).
Rasisme terhadap Papua bertambah keras karena beberapa kali mahasiswa Papua di Yogyakarta melakukan demo. Banyak orang Yogyakarta — yang seirang diklaim sebagai ‘ibu dari negara Indonesia — tidak bisa menerima ini. Mahasiswa-mahasiswa Papua ini dianggap ‘separatis.’ Satu kali demo mereka dihadang milisi yang dulu aktif menuntut keistimewaan Yogyakarta. Anehnya, saat menuntut keistimewaan itu, Yogyakarta juga minta untuk ‘berpisah’ dari Indonesia. Bahkan saya pernah melihat gambar paspor Ngayogyakarta Hadiningrat beredar di internet.
Banyak orang akan menyangkal kalau rasisme (terutama terhadap orang-orang dari timur Indonesia, khususnya dari ras Melanesia) hidup di Yogyakarta. Namun, hari ini saya membaca satu pengakuan mahasiswi dari Papua. Dia adalah mahasiswi Universitas Gadjah Mada, sebuah universitas terbesar di negeri ini.
Dia menulis demikian:
“Salah satu pejabat keamanan di UGM pagi ini mengusir saya dari kampus saya sendiri. Padahal saya hanya duduk di taman UGM sambil merangkai gelang manik2 yg sama sekali tidak mengganggu dan membuat keributan. Gelang saya pun tidak berwarna yang menyinggung atau mengarah pada simbol-simbol yg dilarang negara ini.
Luar biasa …. Orang ini menyuruh saya meninggalkan taman dekat GSP itu. Padahal di samping saya ada beberapa orang yg justru BUKAN mahasiswa UGM melakukan aktivitasnya dengan seenaknya.
Saya mengerti orang ini mengusir saya karena fisik dan asal saya dari Papua. Karena dari omongannya “Saya takut akan ada orang lain yg datang dan duduk-dudk disini pula.” Loh? Memangnya kenapa kalau ada orang lain? Yah tentu saja maksudnya orang-orang yangfisiknya sama seperti saya. Lalu saya menyatakan bahwa saya mahasiswa UGM yg hendak duduk disini. Lalu bapaknya mengatakan, “Kenapa Mbak tidak ke Asrama Papua Kamasan saja untuk duduk?” (Untuk apa saya kesana , kalau saya bisa duduk disini, saya juga punya hak !!?) Sambil melarang saya untuk duduk disana (padahal ini tempat umum loh). Karena sudah terlalu keterlaluan omongannya saya marah dan menanyakan Bapak rasis sama saya? Saya mahasiswa UGM bukan dari luar. Saya juga punya hak untuk duduk di taman ini!!!!!
Langsung bapak itu pergi meninggalkan saya tanpa kalimat klarifikasi. “
Terus terang, ini terlalu berat untuk saya. Khususnya karena saya pernah juga kuliah ditempat ini. Dengan tiba-tiba, semua ingatan akan diskriminasi dan segala macam hiruk pikuknya itu muncul kembali dalam diri saya. Namun, segera saya sadari bahwa ini bukan hanya soal diskriminasi itu. Ini lebih dalam lagi.
Saya yakin ini bukan kebijakan UGM. Tindakan petugas keamanan ini mudah sekali jatuh pada tuduhan bahwa ini hanya tindakan orang per orang (‘oknum’ kata orang jaman Orde Baru).
Namun sulit bagi saya untuk menyangkal bahwa ini adalah rasisme yang dilakukan secara terang benderang. Bahwa rasisme ini hidup, ada, dan nyata. Fakta bahwa tindakan ini menimpa seorang perempuan sangat jelas mengarah pada rasisme itu.
Ini bukan yang pertama kali. Saya yakin ini tidak akan menjadi yang terakhir. Saya tidak tahu apakah UGM akan bertindak mencegah berbiaknya rasisme ini lebih jauh. Untuk saya, ini soal yang amat serius.
Foto: Sampul buku dari Bapa Filep Karma, seorang pemimpin bangsa Papua.
(Sumber: Status Facebook Made Supriatma)
Comment