by

Psikologi Anak

Oleh : Irma Susanti Irsyadi

‘Neng’ – kita panggil saja ia begitu. Di suatu sore yang dingin ia bercerita, menuturkan kisah yang membuat saya terkejut dan merinding, merasa ngeri dan miris, sementara ia sendiri terlihat tenang. Ia yang berkisah, hati saya yang hancur berantakan.

Neng adalah perempuan biasa, sama seperti saya dan Anda yang barangkali membaca tulisan ini. Ia menarik, ramah, humoris dan pintar. Selain menjadi ibu rumah tangga, ia juga punya pekerjaan, ia pintar mencari uang.

Satu saja yang ia tidak miliki, keberuntungan dengan pasangan hidup.

Sekali saja ia melakukan sesuatu yang dianggap ‘kesalahan,’ suami yang seharusnya melindunginya, akan melayangkan pukulan, tinjuan, tendangan. Tubuhnya merekam jejak semua kemurkaan suaminya. Ini berlangsung bertahun-tahun.

Untuk ini Neng harus membayar mahal. Sebelah matanya kini tak lagi bisa melihat, akibat semua pukulan yang sering ia terima. Pasca sebuah operasi di kepala, ia akhirnya menyerah. Seumur hidup itu terlalu lama, Neng merasa sudah waktunya ia berdiri sendiri, toh selama ini ia bisa mandiri. Ia ingin bebas, ingin lepas, menjadi sehat dan bahagia. Mereka bercerai. Neng memilih menyudahi semua kisah mereka di masa lalu dan membesarkan kedua anak mereka sendirian.

Seharusnya kita sudah sampai di akhir kisah. Seharusnya ini sudah cukup, tapi rupanya belum. Ujian Neng maju ke tahap berikutnya.

Suatu hari ia mendapati anak lelakinya sering termenung sendiri, terkadang berbicara pada sebuah sudut, tertawa dan mengobrol.

“Kamu bicara sama siapa, Nak?”

“Loh Ibu ga lihat? Itu temanku, dia sudah lama tinggal di rumah ini.”

Sampai berapa kali pun Neng mengucek-ngucek matanya, ia tak melihat siapa pun. Hanya ada anak lelakinya dan sebidang tembok kosong.

“Ibu, ibu lihat kan? Ibu lihat temanku, kan?”

Ini terjadi tak hanya satu kali.

Hatinya pecah, ia tahu anaknya punya masalah. Lelaki muda itu sering kehilangan waktu, di saat-saat tertentu ia seperti bukan dirinya. Terkadang ia menjerit-jerit, mengeluarkan suara-suara aneh, berbicara sendiri, tertawa, menangis. Neng memantapkan hati dan membawa buah hatinya berobat. Vonisnya : skizofrenia.

Seperti ibunya yang menahan diri dengan siksaan fisik dari ayahnya, si anak juga menahan semua emosi yang ia rasakan sejak kecil. Ia anak lelaki, ia tahu ia harus bisa membela ibunya, tapi ia tidak mampu. Ia ingin berlari melindungi ibunya, menggantikannya untuk dipukul sang ayah, tapi ia tak bisa. Semua emosi ini tertahan, terendap, terpaksa ditekan, dan akhirnya seperti bom waktu ia meledak.

Tahun ini Neng terpaksa merelakan si anak lelaki dirawat di sebuah rumah sakit mental. Si pemuda harapan bangsa terpaksa meninggalkan bangku kuliah untuk sementara waktu, juga kerja paruh waktunya. Mentalnya butuh dikuatkan dulu, ada luka-luka batin yang harus disembuhkan dulu. Neng meninggalkan putranya di sana sendirian, melawan semua kepedihannya sebagai ibu yang ingin terus memeluk dan melindungi anak-anaknya.

“Aku sering berpikir, harusnya dulu kusudahi lebih cepat, harusnya aku berlari lebih awal, kenapa aku bodoh ya.” Begitu kata Neng.

Ini percakapan pribadi kami di telepon, saat saya meminta izinnya menuliskan kisah ini. Ia perempuan kuat, ia penyintas kekerasan, tapi hati ibu mana yang tidak koyak ketika melihat anak sendiri dirawat di sebuah tempat yang dipandang hina oleh sebagian orang. Tetangga-tetangga kanan kirinya sudah mulai bergosip dan mengejek. Mereka takut dengan fakta salah satu warganya masuk RSJ. Teman-teman pengajiannya mengatakan anaknya masuk RSJ karena kelakuan Neng sendiri, “itu azab, mungkin kamu kurang ibadah.”

Mantan suaminya dihubungi untuk melihat sendiri kondisi anak mereka. Neng memohon sang mantan untuk meminta maaf pada anak-anak atas semua kesalahannya di masa lalu. Psikiater menganjurkan ini agar terapi si anak berjalan lancar.

Sang mantan menolak dan berkata, “emang salahku apa? Kita kan sudah bercerai, ya sudah.”

Hidup sekejam itu padanya.

Saya tuliskan kisah ini untuk kalian, terutama untuk siapa pun yang masih terjebak dalam hubungan yang tidak sehat. Banyak perempuan yang bertahan dalam pernikahan toxic dengan alasan ‘demi anak.’ Tanpa mereka sadari bahwa anak merekam semua kejadian, anak melihat semuanya. Jejak-jejak kekerasan tak hanya tertinggal pada ibu tapi juga pada anak-anak. Memang tak kasatmata tapi jangan menunggu ledakan itu menjadi nyata. Berhentilah sebelum terlambat. Sebab ada banyak hal yang tak lagi bisa kita ulang. Mental anak bukan adonan roti yang bisa diganti dan dibuang ketika tak layak. Perkembangan jiwa anak bukan rekaman video yang bisa diulang dari awal.

Jangan sampai terlambat.

Sumber : Status Facebook Irma Susanti Irsyadi

Comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

News Feed