Papua konon berasal dari kata “Papa-ua,” ia yang berambut keriting (1600 M). Di era Majapahit menyebutnya Wanin (1300 M). Persia menamakannya Samudranta (700 M). Jaman Sriwijaya ia disebut Janggi (600 M). Orang-orang Cina daratan menyebutnya Tungki (500 M). Sedangkan ahli geografi Yunani, Ptolamy menamakannya Labadios (200 M).
Sejak dulu nama Papua (Irian Jaya) selalu melahirkan rasa perih. Papua berarti kekejaman, penindasan, ketidak-adilan. Papua adalah kutukan kekayaan alam. Di sana penduduk lokal jadi anak tiri. Sementara orang asing bebas menjarah harta mereka.
Orang-orang berkulit hitam legam, berambut keriting itu disebut primitif. Cara mereka hidup dianggap terbelakang. Seringnya perang antar-suku membuat mereka dicap bar-bar. Penderitaan Papua lengkap sudah.
Padahal mereka hanya butuh sendiri. Hidup dengan cara mereka sendiri. Namun orang-orang berahi pada tubuh moleknya yang penuh kekayaan alam. Mereka menjarahnya. Papua diperkosa.
Tahun-tahun mengenaskan itu seolah tanpa ujung. Kerusakan semakin bertambah parah. Pemimpin daerah mereka korup, wakil rakyat di Jakarta tak berani bersuara. Sementara pemegang amanah di pusat, justru jadi centeng penjilat persekot.
Harga barang mahal, BBM langka, jalan yang layak bagi manusia hanya hayalan, punya listrik itu mimpi di siang bolong. Papua benar-benar tak punya harapan. Takdirnya hitam, legam, buram, seperti warna kulit mereka.
Namun tiba-tiba, seorang laki-laki cungkring dari Solo mengamati penderitaan menahun mereka. Ketika ia melihat daratan Papua yang gelap gulita di malam hari dari atas pesawat dan hatinya menjerit. Ketika hendak blusukan, medan yang ditempuh tak manusiawi dan sulit. Ketika melihat anak Papua tanpa harapan, dekil dan berperut buncit. Ia sadar, telah lama tidak ada keadilan di sana.
Sementara politikus busuk dan duit yang cekak membatasi langkahnya. Membangun infrastruktur katanya pemborosan. Kunjungan ke pelosok katanya pencitraan. Bernegosiasi dengan Freeport untuk divestasi saham dianggap sandiwara murahan.
Ia harus tahu diri bahwa, membebaskan Papua dari cengkeraman ketidak-adilan tak bisa instan. Lelaki tinggi semampai itu dengan sabar mencari celah. Bak pemain catur ulung, ia melangkah dengan penuh perhitungan.
Ketidak-adilan di Papua dimulai dari sektor ekonomi. Persoalan hukum, HAM, pendidikan, kesehatan, kesetaraan, pengelolaan hutan adat, menjadi daftar panjang sesudahnya. Namun semua itu bersimpul di ekonomi. Sedangkan tulang punggung perekonomian adalah infrastruktur. Benang kusut itu baru bisa diurai kemudian.
BBM satu harga mustahil, kata Pertamina. Untuk Papua, mereka rugi ratusan miliar di awalnya saja. Lelaki itu tak perduli. Subsidi silang jadi penambalnya. Pembangunan jalan ribuan kilometer seperti membuang garam ke laut. Tak ada imbal-baliknya secara ekonomi, karena Papua itu daerah yang sepi manusia. Lelaki itu tak perduli. Keadilan sosial harus diwujudkan segera.
Ia bergerak dan terus menggebrak. Padahal Basuki, tangan kanan pembangunannya hampir menyerah dengan target yang begitu tinggi. “Dicoba dulu, jangan cepat menyerah,” katanya. Dan benar, Tuhan memberikan jalan kemudahan.
Ini bukan kisah fiksi tentang calon pemimpin yang sedang kampanye. Lelaki yang seolah tak punya rasa lelah itu adalah fakta. Adalah anugerah bagi Papua. Mereka merasa diakui, dimanusiakan, dianggap saudara.
Ia datang ke sana untuk membayar sebagian dosa masa lalu. Mungkin memang belum lunas, tapi ada kesungguhan, komitmen, tanggung-jawab. Ia menjadikan dirinya sebagai jaminan, ‘selama ada saya, kesetaraan hanya soal waktu.’
Ia membagikan sertifikat gratis, meresmikan seribu rumah, jembatan, jalan, pelabuhan, bandara, pasar, pos lintas batas, aliran listrik, BBM satu harga, membagi buku, harapan dan kasih sayang.
Di sana ia menari dengan riang bersama warga, yang sejak Indonesia berdiri belum pernah dikunjungi presidennya. Orang-orang yang dulu bermimpi bertemu presiden adalah mustahil itu, kini berani bercita-cita. Kelak di tanah yang memendam dosa sejarah republik itu, boleh jadi akan lahir seorang presiden Indonesia.
Ini memang mimpi yang sangat jauh. Namun lelaki murah senyum itu telah membuka lembaran baru. Di sana anak-anak Papua diajak untuk membebaskan diri menuliskan kisahnya sendiri. Mereka berhak mengawali hari baru untuk bercita-cita setinggi-tingginya. Sebagai manusia, sebagai Papa-ua yang berani menegakkan kepala.
Setara, berdaya, makmur dan jaya.
Sumber : Facebook Kajitow Elkayeni
Comment