by

PPT, Kisah Para Pencari Tai

Beneran? Bukan sarkas? Sarkas, sih, tapi beneran. Beneran sarkas, jika dibandingkan PPT yang lain, sinetron kisah Para Pencari Tuhan, yang bukan hanya kehilangan greget, tapi makin kelihatan hodoh, sejak dari skenarionya. 

Dalam postingannya di fesbuk, Eko Winardi menuliskan kisah para pencari tai. Tepatnya, tai dari binatang ternak seperti ayam dan sapi, untuk dijadikan pupuk organik. Hari-hari ini, ia tengah membuat karya instalasi pertanaman, di lahan Nglanggeran (Gunung Kidul) dan wilayah Mbuantul, DIY, dengan produser acara Butet Kartaredjasa. 

Ia memang aktor teater, lulusan ISI Yogyakarta jurusan teater. Tapi ini kali, di masa pandemi, ketika ekonomi modern dengan segala teorinya rontok oleh coronavirus, Eko Winardi mementaskan naskah dari tanah. Jalan tanah organik sebagai petani organik dan pupuk organik. Apa bagusnya organik? Tentu saja lebih organis, istilah sarunya menyatu, membersama dalam suatu rangkaian, kait-mengait. Tidak merupakan bagian terpisah-pisah, atau kolase.

Di jaman Soeharto, kita memang pernah swa-sembada beras. Namun Soeharto memakai pola intensifikasi dengan pupuk buatan. Pupuk yang tidak organik itu hanya memberi makan pada tanaman, tapi tidak pada tanah. Akibatnya, tanah diperkosa untuk memproses tanaman secara maksimal, tapi dianya sendiri pot-empotan. Hasilnya memang lebih cepat, bulir padi gede-gede, Indonesia bisa swa-sembada pangan.

Namun senyampang itu, kita tak menyadari, kini tanah cengkar, garing, mati, ambyar. Butuh waktu lama untuk mengembalikan. Anak sekarang ngertinya enak jaman Soeharto. Sementara jaman Jokowi, fakta petani tambah miskin. Nanem padi lama, hasilnya kecil-kecil. Ya, karena sistemnya dirusak Soeharto! Dan kita semua kini mewarisi bangkrakan tanah cengkar dan ambyar itu, untuk diperbaiki. Sudah gitu, baru mau jalan, semua disuruh wfh karena coronavirus. Gimana bertani cara wfh? Mengendalikan pacul dari kamar dengan remote control? Controlmu abuh!

Maka, kisah para pencari tai menjadi penting. Karena dari sanalah dimulai upaya pertama, memberi makan tanah. Menghidupkan tanah. Menyuburkannya. Agar siap ditanami apa saja. Dari sana kesatuan organis muncul. Bagaimana pertanian adalah kerja budaya. Melibatkan banyak elemen alam semesta. Dari manusia, bumi, dengan bantuan binatang seperti sapi, kambing, dan ayam, yang memproduksi tai. Kemudian tai diolah manusia menjadi sesuatu, yang sebagiannya juga akan menjadi tai. Perjalanan sufistik tai itu menjadi sangat menggetarkan karena terasa religius.

Saya ingat yang diomongkan Robi Navicula, anak cadas dari Ubud Bali; Bahwa konsep pemerintah mengenai TPA (Tempat Pembuangan Akhir) untuk mengatasi sampah, itu kesalahan fundamental. TPA bukan penyelesai masalah, tapi justeru kini memunculkan masalah lingkungan. Karena sampah tidak diperlakukan objektif dan produktif sejak dari rumah.

Tapi begitulah, 20 tahun Soeharto longsor, soehartoisme masih kuat. Pragmatisme, jalan pintas, masih berjaya. Sehingga janji Jokowi untuk revolusi mental, masih merupakan utopia. 

Saya ingat sebuah maskumambang dalam laura pandemi yang diinsiiasi Prof. Laks dari FIB-UGM. Ada syair yang diinspirasi nasihat ibunya; Ketika menjalani masa pandemi (di mana pandemi selalu jalan seiring dengan paceklik), ibunya menasihati untuk coba kembali mengakrabi air, tanah, dan tanaman. Menanam secara verbal, menanam tanaman, tumbuhan, sayuran, buah-buahan. Bukan nanem investasi bodong, atau nanem nyinyiran model sinteron PPT buah karya Deddy Mizwar. 

Dulu sinetron PPT bagus. Makin lama makin tidak. Apalagi dalam session 13 (artinya sudah 13 tahun), ada adegan kelompok penghayat kepercayaan menolak pembangunan masjid. Selama ini, justeru para penghayat kepercayaan (juga agama lain), yang dipersulit mendirikan tempat ibadah mereka. Dalam sinetron itu, juga secara konyol dipersepsikan si penghayat kepercayaan orang yang tak masuk akal dan bodoh. Cara sembahyangnya jumpalitan kayak sirkus. Sementara karakter Bang Jack, yang dikit-dikit mau nyabut golok itu, tampak lebih meyakinkan sebagai cara kita menghabisi diskusi dengan main gertak.

Asudahlah. Kalau ngomong akting, atau teater, Eko Winardi juga aktor lulusan perguruan tinggi sekali. Namun ia kini lebih disibukkan dengan jalan tanah, sekelas bagaimana Musashi meyakini jalan pedang. Jalan tanah adalah jalan hidup memuliakan tanah. Menjadikan tanah sebagai rumah, habitat nyaman bagi cacing dan milyaran jasad renik yang baik. Yang tinggal dan bekerja underground. Mereka adalah penyangga semua kehidupan makhluk hidup di muka bumi. 

Jalan tanah itu, dimulai dengan memuliakan air, merawat mata-air, mengundang sinar matahari pagi datang leluasa. Dan kita diajaknya bersama memberi nutrisi, hormon, vitamin yang dibutuhkan tanaman. Agar tumbuh maksimal, merdeka, berbunga, berbuah, berbiji. Tangkar-tumangkar sebanyak-banyaknya. Selebat-lebatnya sebelum mati ditelan tanah, atau dengan semboyan ‘urip mung mampir neng wetenge tukang mbadog’. Untuk kemudian menjadi tai, menjadi pupuk organik. Dst. Dst.

Apa yang dilakukan Eko Winardi ini keren. Wahai para sobat ambyar oleh korona dan wfh, dan phk, dan lain-lain. Menghidupan kembali toga, bukan toga berkuncir, tapi tanaman dan obat keluarga, mungkin baik. Melihat kembali sekitar kita, mungkin akan memberi inspirasi penting. Nggak punya halaman, bisa nanem di pot atau pralon. Karena kita juga tidak tahu pandemi corona itu sampai kapan. Dan tak penting lagi ngarep bantuan pemerintah, karena hanya diri kita yang bisa menolong kita. 

Disamping berteater, Eko Winardi kini bersama panggung kebudayaannya dengan tanah. Menggelar lelakon jalan tanah, mungkin akan berpuluh session. Bukan hanya baru session 13, sudah ambyar nggak genah. Terimakasih Eko Winardi | 

 

(Sumber: facebook @sunardianwirodono)

Comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

News Feed