by

Populisme Anies yang Kebablasan

Lalu apa respon Anies atas kejadian itu?

“Nanti kita akan bikin aturan khusus supaya sopir-sopir yang bertanggungjawab tidak boleh membawa orang di atas,” katanya. 

Anies mau bilang, anak-anak barbar itu gak bersalah. Karena menyambut seruan Gubernur untuk takbir keliling. Yang salah adalah supirnya. 

Tapi Nies, coba pikir mana ada supir mempersilakan penumpang naik ke atap. Mobilnya bisa rusak, kan? Bikin aturan menghukum supir bus yang mengendarai kendaraan dengan penumpang di atas atap, sama juga kayak bikin undang-undang melarang anak menampar bapaknya sendiri. 

Pakai logika saja cukup, bahwa itu perbuatan ngaco. Gak perlu dibuatkan aturan khusus. Yang harus dikenakan aturan itu justru penumpang barbarnya itu. Bukan supirnya.

Pertanyaannya, kenapa anak-anak itu jadi barbar di malam takbiran? Karena mereka mau mengikuti acara takbir keliling. Kan, ente juga yang menyerukan setelah Gubernur-gubernur yang lama melarangnya.

Mau tahu kenapa dulu takbir keliling dilarang? 

Lihat saja dampaknya. Sesaat setelah menggelar takbir keliling, pecah tawuran di Kemayoran antara masa yang sama-sama takbir. Di Sulawesi Tenggara lebih parah lagi. Tawuran akibat takbir keliling menyebabkan 48 rumah terbakar. 

Saya ingat dulu, ketika mahasiswa pertama kali mencetuskan kegiatan Sahur on The Road. Kami keliling kota membagikan santapan sahur. iring-iringan kendaraan membelah tengah malam buta.

Lalu pada tahun-tahun sesudahnya banyak kelompok masa yang menggelar acara yang sama. Ada kalanya mereka bergesekan. Terjadi konflik. Bukan hanya itu. Kadang-kadang acara seperti itu juga diikuti anak muda yang hanya ingin meraung-raungkan knalpot motornya saja. 

Niat yang tadinya mulia, dirusak, karena kondisinya memungkinkan untuk itu. iring-iringan orang di jalan raya. Dengan kendaraan. Merasa sedang menjalankan misi mulia. Akhirnya jadi ngaco. 

Makanya, kemudian saya setuju kegiatan Sahur on The Road dilarang.

Tapi saya mengerti, Anies memang mau membangkitkan politik populisme. Meski yang dilakukan menabrak aturan. Dia mempersilakan becak beroperasi di Jakarta setelah di tahun 70-an sudah dilarang Gubernur Ali Sadikin.

Ia mempersilakan pedagang di Tanah Abang menggelar dagangan di tengah jalan. Akibatnya Tanah Abang jadi kacau balau dan semrawut. Padahal di jaman Jokowi sudah dibenahi jadi lebih manusiawi.

Sekarang preman lebih berkuasa di Tanah Abang ketimbang Satpol PP.

Anies juga mempersilakan urbanisasi ke Jakarta. Tidak akan digelar operasi yustisi. Alasannya karena Jakarta kota terbuka. Padahal ada aturan yang mengharuskan tertib kependudukan. Operasi yustisi sesungguhnya bukan melarang orang datang ke Jakarta. Tetapi menegakkan aturan tertib kependudukan. Misalnya, mendaftar siapa saja sesungguhnya yang menetap di Jakarta.

Kalau Anies lebih peduli dengan politik polulisme seperti ini, wajar saja. Dia duduk di kursi Gubernur juga hasil dari politik populisme dengan menanipulasi agama. Nah, senjata itu yang terus dimainkan sampai sekarang.

Politik populisme seperti itu memang mensyaratkan pemimpin yang jago menata bacot ketimbang punya prestasi kerja. Populisme mengandalkan bacot ini yang kemudian berdampak pada kacaunya aturan. Dengan cara mikir yang compang-camping.

Bukan hanya Anies. Ketika Pilpres kemarin, Prabowo juga memainkan strategi yang sama : populisme agama. Alhamdulillah hasilnya nihil. Rakyat Indonesia ternyata tidak sebodoh warga Jakarta.

Dulu di bus kota ada aturan ‘Dilarang mengeluarkan anggota badan’. Maksudnya dilarang netek-in bayi di dalam bus.

“Kalau sekarang diperbolehkan lagi mengeluarkan anggota badan, kayaknya keren ya, mas? Saya mau usul ke TGUPP ah,” ujar Abu Kumkum.

www.ekokuntadhi.id

 
 

Comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

News Feed