by

Politisi Kita Masih Berkutat Jualan Agama

Bagaimana Indonesia?

Kondisi Indonesia hari ini mengingatkan kita pada gambaran futurolog Alvin Toffler (1980) tentang “gelombang ketiga”(third wave). Tak semua pihak siap menerima kebaruan dan keterbukaan. Generasi muda hari ini mungkin punya pengaruh besar. Namun, jika ditanya soal determinasi, jawabannya “belum tentu”; berkebalikan dengan jumlah populasi, keaktifan, dan alternatif yang dimiliki mereka.

Rendahnya determinasi dapat kita lihat dari kontradiksi di lapangan. Jakarta adalah hub proyek-proyek startup yang punya potensi ekonomi dan prospek bermitra dengan pemerintah untuk menangani problem daerah.

Jumlah startup Indonesia adalah yang tertinggi di Asia Tenggara (data CHGR, 2016), dan mayoritasnya di Ibu Kota. Ditambah komposisi penduduk muda di Jakarta, seharusnya pemerintah bisa mengakomodasi creative-economy dan crowd-economy. Namun, beberapa kebijakan pemerintah Jakarta justru cenderung memihak struktur yang kental oligarki seperti PKL Tanah Abang dan transportasi becak.

Kasus lain dapat ditemukan dalam konflik angkutan online dan konvensional di 10 kota besar selama dua tahun belakangan. Beberapa pemerintah daerah menerapkan langkah pembiaran sampai pelarangan. Padahal, konfliknya bukan semata persaingan pendapatan. Ada alasan-alasan politik di baliknya. Sementara efek crowd economy, yang beroperasi secara online (pertumbuhan sektor kuliner dan jasa, misalnya), telah melampaui sektor-sektor ekonomi konvensional.

Alasan Politik

Praktik kebijakan populis di Indonesia diartikan berbeda. Jika penyerapan tenaga kerja dan peningkatan kesejahteraan disepakati sebagai kebutuhan bersama, terobosan kebijakanlah yang lebih logis disebut “populis”. Namun, keterikatan sistem konvensional (angkot, ojek, becak, atau PKL) terhadap infrastruktur politik daerah memang lebih kuat. Di baliknya ada rantai komando ke atas, tersambung kepada para elite daerah. Akhirnya, mempertahankan yang lawas lebih disebut populis.

Kemauan adaptasi yang rendah menyebabkan para elite lebih suka berinvestasi pada struktur lawas. Sementara karakter generasi baru dengan keterbukaannya berkebalikan dengan model multi-level marketing struktur lawas yang bersandar pada jurang informasi. Gampangnya, jika antarpihak bisa tersambung satu sama lain, lalu elite mendapatkan apa?

Pada 2018, Pilkada serentak diadakan di 171 daerah dengan 569 pasangan calon. Tak banyak calon muda mengajukan diri. Hal paling krusial adalah minimnya program yang menyasar penduduk usia muda dan tengah, yang berjumlah antara 30-40 persen di tiap daerah.

Program macam itu mensyaratkan edukasi kebijakan dan tata pemerintahan pada konstituennya. Lima bulan (Januari-Juni) persiapan menuju Pilkada tak akan cukup bila tanpa kesiapan parpol dan mesin politik berkomunikasi dengan alternatif baru. Sebut saja calon termuda dalam Pilkada, Karolin Margret Natasa (Cagub Kalimantan Barat) dan Emil Dardak (Cawagub Jawa Timur), marketing politiknya masih cenderung menjual umur muda sang politikus, alih-alih kebaruan program.

Politik yang berinvestasi pada sistem lawas pada era informasi jelas destruktif. Sambutan setengah hati terhadap generasi baru akan membuat kondisi tersebut lebih problematik. Alih-alih bertarung dalam tawaran baru, strategi-strategi politik sekarang menekankan sentimen kebencian berbasis agama atau etnis lewat kemudahan teknologi dan keaktifan usia muda.

Dalam lanskap media sosial, Indonesia adalah negara degan pengguna Facebook terbanyak keempat dunia (data We Are Social dan Hootsuite, 2017). Pada akhir 2016, Kemkominfo mengatakan ada 800 ribu situs penyebar berita palsu (hoax) dan kebencian (hate speech). Jaringan hoaks ini bekerja terutama seputar isu politik dan SARA. Apakah mereka bergerak tanpa kepentingan? Terbongkarnya sindikat Saracen pada 2017 membuktikan hoaks dan siar kebencian adalah strategi politik yang biayanya jauh lebih murah ketimbang menjanjikan program.

Usai perhelatan politik, kelompok muda disayang dan dibuang. Survei LaKIP di Jakarta menunjukkan hampir 50 persen siswa mau ikut aksi kekerasan dalam isu agama. Sedangkan survei Mata Air dan Alvara melaporkan 1 dari 4 pelajar terkontaminasi radikalisme.

Dengan segala gambaran ini, yang kita lihat adalah persimpangan masa depan politik Indonesia. Bukan sekadar gelombang teknologi informasi yang sedang kita hadapi, lebih dari itu, masyarakat sipil diuji mengenai pilihan peradaban: apakah menuju kemajuan dan rasionalitas, atau kembali mempertahankan oligarki politik.

Sumber : tirto.id

Comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

News Feed