by

Politisasi Gerakan Sholat Subuh Berjamaah

Oleh : Kajitow Elkayeni

Dulu sekali, teman saya yang ketika itu masih jadi santri Kyai Muzaki Syah, Jember, mendebat kyai kampung kami. Teman saya itu datang ke rumah kyai tersebut dan mengkritik cara-cara sedekah yang menurutnya tidak pantas. Saya protes balik, karena program itu menurut saya baik. Sedekah boleh dilakukan dengan cara sirr (rahasia) atau diumumkan. Apa salahnya mengumumkan nama dan besaran sedekah untuk memancing yang lain?

Tapi dia menjawab pendek, “Baik kalau bercampur riya untuk apa?”

Kata-kata itu menampar saya keras-keras. Kelas saya tentu sangat jauh jika dibandingkan teman saya itu. Jauh dalam arti banyak hal. Ibarat kata, saya ada di pinggir jurang, dan siap melompat sewaktu-waktu. Apalagi sekarang ia juga telah menjadi seorang kyai dan memimpin majelis ilmu masyarakat di Jawa Timur. Ia telah berproses begitu dalam. Ilmu baginya bukan hiasan dalam kitab. Ia menyelam, menjajaki dasar, mencecap asin-pahitnya.

Sementara saya adalah gambaran dari kebanyakan orang. Menyukai gebyar luar, membanggakan kerumunan massa, menyombongkan jumlah dan himpunan kosong. Ilmu dan amal saya masih bersifat prestise, klise. Jangankan daqoiqu riya (riya paling halus), riya kelas jumbo juga sulit dihindari. Bahkan mungkin sudah masuk ke wilayah ujub. Saya merasa wah dengan diri dan perbuatan yang saya kerjakan.

Baru saja GPNF MUI dan simpatisannya membuat satu gerakan dengan nama, Gerakan Salat Subuh berjamaah. Tujuannya tentu baik. Salat berjamaah sangat dianjurkan. Dalam keterangan media, mereka mengusung banyak dalil. Dan yang mengejutkan, dalam satu keterangan, mereka mencontoh Turki. Negara sekuler itu dinilai berhasil menggenjot perekonomian dan melesat masuk kelompok G20. Negara-negara dengan perekonomian kuat. Semua itu berawal dari proses ibadah semacam ini. Subhanallah…

Dengan lantang orang-orang bertakbir di sana mengomentari maklumat itu. Erdogan menjadi simbol perubahan. Salat subuh berjamaah menjadi motor penggeraknya. Kisah indah itu, meski tidak logis, adalah contoh yang bisa ditiru di Indonesia. Menurut mereka.

Tapi hakikatnya mereka sibuk merayakan kulit dan melupakan esensi.

Gerakan salat subuh berjamaah rentan masuk wilayah riya tadi. Ia sebenarnya gerakan yang bagus. Tapi ketika dipolitisasi, ibadah itu berpotensi menjadi ajang show force, pamer kawanan, dan yang paling jahat, menjerumuskan pada ujub dan riya. Gerakan ini dimotori oleh kelompok-kelompok yang ingin mencari panggung. Orang-orang yang sebelumnya banyak berkhutbah soal akhlak, bahaya riya dan ujub. Saya tidak terkejut ketika tahu Aa Gym ada di sana.

Ibadah dijadikan tontonan. Dipamerkan di media sosial. Dijadikan ajang menaikkan gengsi. Kelasnya sudah serendah infotaintmen. Ustadz ngartis tentu tak paham bahaya semacam ini. Yang penting rating, tawaran manggung, dan yang utama naiknya tarif. Soal esensi barangkali biar jadi urusan ulama ndesit di kampung-kampung itu saja. Kyai udik yang hidup sederhana seperti teman saya itu.

Memang ada dua jenis ibadah yang boleh dicampuri riya, bahkan dianjurkan. Pertama membaca salawat. Berjuta-juta orang boleh saling pamer salawat. Boleh saling mengajak kawanan. Boleh saling menunjukkan atsar kecintaan dengan jumlah. Yang kedua walimah. Orang boleh mengabarkan ke seluruh penjuru dunia kabar gembira itu. Orang boleh pamer pada sahabat dan sanak saudara. Tapi kegiatan ibadah lain harus hati-hati. Karena riya adalah racun. Ia merusak dari dalam.

Akhir-akhir ini semakin banyak orang yang dengan bangga mempolitisasi agama. Ustadz televisi merangkap businesman. Kata-katanya manis, hidupnya bergelimang harta. Mereka menjadi bagian sosialita di kota besar. Pemimpin jamaah jadi tukang provokasi. Kata-katanya pedas. Umat yang seperti rumput kering dibakar dan dikipasi. Mereka dengan lantang teriak bunuh, gantung, habisi.

Nabi yang begitu santun, agama yang mengedepankan perdamaian berubah menjadi tontonan kebuasan. Islam mengalami kemunduran yang sangat jauh. Banyak dari segi jumlah tapi keropos dalamnya. Di saat seperti inilah saya rindu orang seperti teman saya itu. Alim, sederhana, dan bisa dijadikan teladan.

Sumber : Facebook Kajitow Elkayeni

Comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

News Feed