by

Politik Pencitraan Anies Baswedan

Pernyataannya berbalik setelah Anies kalah dalam konvensi Partai Demokrat. Ia tanpa malu malah beralih mendukung Jokowi sebagai calon Presiden. Sikapnya pun berubah. Ia mati-matian membela Jokowi dengan memujinya sebagai sosok inspiratif dalam setiap aksi-aksi nyata turun ke bawah untuk melihat langsung problem yang dialami masyarakat.

Sikap Anies ini juga banyak yang menghujat, karena dianggap penjilat dan mencerminkan sebagai sosok yang oportunis demi ambisi politik pribadinya. Namun dengan santai, Anies menepis semua anggapan tersebut. Ia secara terang-terangan menyerang Prabowo secara eksplisit dan membela Jokowi.

Anies menganggap Prabowo sebagai penjiplak dan melakukan kampanye tidak sehat. Bahkan ia menuduh Prabowo sebagai calon presiden yang tidak mampu menepati janji-janjinya dan pelanggar HAM yang harus diproses hukum.

Saat menjabat sebagai Menteri Pendidikan, ia direshuffle karena melencng dari visi Presiden. Ia tidak bisa merealisasikan program Kartu Indonesia Pintar (KIP) hingga tidak terdistribusikan secara merata. Padahal ini adalah salah satu program andalan Presiden Jokowi.

Anies juga melakukan kesalahan fatal dengan salah hitung anggaran tunjangan profesi guru hingga kelebihan Rp 23,3 trilliun dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan 2016. Sumber: (http://regional.kompas.com/read/2016/08/27/15412711/salah.hitung.anggara…)

Namun setelah ia dipecat sebagai Menteri Pendidikan, malah ia tanpa malu memuji Prabowo seperti apa yang telah ia lakukan terhadap Jokowi. Anies rela menjadi Bunglon dan menjilat ludahnya sendiri.

Tidak sampai di situ, setelah bergabung dengan kubu Prabowo agar bisa menang menjadi Gubernur DKI Jakarta, Anies kembali menjilat ludahnya dengan mendekati FPI. Ia menyambangi FPI yang dulu ia anggap sebagai kelompok ekstremis yang kerap membuat keributan dan kegaduhan di republik ini.

Dengan retorika manisnya, Anies berhasil merayu FPI sehingga tak heran jika FPI bahu membahu membantu Anies memenangkan Pilkada DKI.

Publik dewasa

Publik paham betul bahwa politik pencitraan yang dilakukan Anies. Publik paham bahwa sudah menjadi kebiasaan umum calon kepala daerah mendadak islami menjelang pemilu. Seperti memakai kopiah, berpakaian islami, sampai kunjungan ke berbagai majelis taklim. Publik tidak akan memilih pemimpin yang hanya bisa menggunakan agama sebagai alat politik.

Publik tidak bisa dibohongi dengan politik pencitraan. Meskipun politik semacam ini menyebar luas dengan segala pencitraannya, namun publik tetap berpegung teguh pada rasionalitas dan rekam jejak (treq record) yang telah dilakukan oleh masing-masing paslon.

Publik sudah sangat dewasa. Model kampanye sehat dengan proses dialog, adu visi-misi dan strategi yang kreatif merupakan prioritas utama dalam menentukan pilihannya. Sedangkan politik pencitraan Anies dengan cara berpeci, beretorika penuh janji dan sebagainya sama sekali tidak akan laku untuk warga Ibu Kota.

Kini, Anies Baswedan sudah berubah. Para pengagum yang dulu memuja dan terpesona dengan gerakan Indonesia mengajarnya, perlahan mulai meninggalkannya. Lalu pantaskan ia memimpin Ibu Kota ?**

Sumber : Qureta

Comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

News Feed