by

Politik Melankolik

Sudah sebesar apa Sandi sampek perlu dijatuhkan dengan cara ngehe kayak gitu? Dia cuma pangeran bangau yang kerjanya bergenit dengan emak-emak sembari menggamit memori mereka kepada tititnya yang menggembung saat bercelana training. Orang pikir itu tidak disengaja. Saya bilang itu direkayasa. Sebab, ada batas remang antara fantasi membludak dengan sosok yang berupaya tampil unyu-unyu, lucu, dan funny. Di batas remang perempuan suka lupa diri.

Cara Ma’ruf Amin mendekati emak-emak melalui tausiyah pasti kalah efektif dengan pendekatan memori titit gembul.  Pada sosok Sandi,  imajinasi liar dalam diri emak-emak, yang tak tampil di permukaan, diharapkan meledak di bilik suara. Apalagi dia dikesankan sebagai lelaki muda tertindas. Perempuan tolol pasti berpihak padanya sambil membayangkan membelai kepala Pangeran Bangau dan meraba gembulan di bawah.

Belum lagi kita mendapat sodoran usul dari Sandiaga agar debat capres dikurangi, diganti dengan seminar atau sejenis itu. Dia takut keberhadapan pasangan pilpres akan meruyak di keberhadapan para pendukung. Itu tidak bagus buat Indonesia, pikirnya. Hehehe.

Sandi takut berhadapan dengan data. Prabosan tidak punya apa-apa untuk disodor. Prabowo pasti mengulang tema 5 tahun lalu: bocor, bocor, dan bocor, gak mau tahu bahwa di banyak tempat kebocoran sudah ditutup meski masih menyisakan banyak lubang. Jokowi sudah berbuat. Itu tak bisa digugat. Maka sebaiknya kita bicara tentang gagasan, kata bocah lendir, tentang Oke-Oce, tentang “punya gedung kantor DP0%”.

Semua alinea di atas menunjuk pada satu citra yang hendak dibangun: terdzalimi. Itu dimainkan dari minggu ke minggu. Lalu 3-5 pekan sebelum pilpres ayat-ayat suci berkumandang lagi. Kali ini bukan soal mayat, atau kafir, atau Al Maidah, tapi tentang perintah Allah untuk berpihak kepada kaum terdzalimi, menghancurkan para dzalim.

Itu sebabnya Habib Rizieq berupaya hijrah ke Malaysia. Di sana dia bisa mengendalikan para ulama, yang tinggal menyebrang dengan ongkos 500 ribu perak sekali jalan menemuinya. Dari sana pulaksuaranya lebih jelas dan lebih gencar terdengar di telinga umat.

Dan, ya, ada mesin-mesin sudah disiapkan untuk membangun citra itu. Anda tahu BOT? Itu sejenis robot virtual, dicangkokkan ke mesin twitter, facebook, instagram, dan lain-lain, berfungsi sebagaimana layaknya manusia. Dia bisa berberita, bertanggap, berceloteh. Dan karena mesin, dia tak kenal lelah. Ngetweet 24/7 bukan masalah. Dia akun, bagaimana mau dilarang?

Maka selama 6 bulan para BOT berkisah muram. Prabowo, yang biasanya gahar, tiba-tiba melankolik, sontak memunculkan wajah temaram. Dan wajah Sandiaga Uno, si bocah lendir, terasa pilu. Hasrat keibuan serta ketantean para emak-emak bercampur-baur, menyalakah kasih, juga gairah. Dan itulah persilangan ngilu.

Lalu di bulan ke-6 ayat-ayat suci bergema mengumandangkan perintah Allah untuk membela mereka yang “dipinggirkan”, “dianiaya”, “diinjak”, “dipedaya”, dan “ditindas”. Maka melolonglah “jiwa-jiwa” di lorong jalan, di gemerisik taman, di gemebyar ombak lautan. Dari satu simpul ke simpul lain suara itu datang, beramplifikasi, untuk pada puncaknya meletup di satu titik.

Sementara Jokowers bermegah di hadapan “orang-orang pilu” itu. Nyinyiran, sindiran, makian, dan lontar kejumawaan berhamburan ke udara, sebagian bahkan berbusa. Mereka nikmati pesta barbarik: mengganyang para domba, menghantamnya sekuat gairah.

Maka “langit” berubah warna. Semula merah.

 

Sumber : facebook Sahat Siagian

Comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

News Feed