by

Politik Identitas Dan Kampanye Rekonsiliasi

Begitu mungkin pikir teman2 sebelum mendengar dan mencari keseluruhan pidato om Anies tampa tau konteks yg d bicarakan.

D sini terlihat jelas efek domino dan aftertaste dari politik perpecahan. Hasil dari 3 tahun Jakarta d tangan sang penista yg terus menerus d terpa caci maki d tambah setahun kampanye kebencian. Hal2 seperti ini menjadi “normal” bagi warga Jakarta.

U either one of us, or one of them.

Gak ada tengahnya.

Dan kalau keberpihakan sudah terukir pada image seseorang, kuping masih bisa mendengar ucapan org itu, tapi otak secara otomatis memilah dan tebang pilih, mana informasi yg d olah dan d simpan dalam memory, mana yg d buang lewat pantat bersama pup.

BOHONG kalau om Anies bilang sindiran dan perbandingan itu gak ngaruh baginya, krn kalau bener gak ngaruh, dia gak akan segan2 memberi apresiasi pada pendahulunya ketika pembukaan Lapangan Banteng.

Jadi aku sebenarnya paham mengapa cara kerja om Anies bagaikan modem dial-up d era fiber optik. Sedikit banyak, efek perpecahan akibat luka kampanye kebencian sebelumnya mempengaruhinya, dan itu gak bisa sembuh dalam satu dua tahun.

Hikmah yg dapat ku ambil dari kampanye kebencian pilpres 2014 dan pilgub 2016 adalah betapa sulitnya menbangun kota yg terpecah belah.

Tapi ada yg jauh lebih sulit dan mengerikan.

Membangun negara dari bangsa yg tercerai berai.

Dari sinilah, menurutku keputusan pakdhe menggandeng MA jadi masuk akal. Politik identitaspun jadi masuk akal.

D akui atau tidak, bangsa ini sudah terpecah antara mereka yg menginginkan kekuasaan dengan cara mengendarai agama, dan mereka yg mendahulukan program kerja maupun prestasi.

Terlepas dari siapa yg menang pilpres 2019, kenyataannya hambatan yg sama akan d alami presiden 2019. Kabut tebal yg menutupi fakta pencapaian maupun kritik cerdas terhadap penguasa 2019.

MA, sebagai salah satu tokoh central dalam kontestasi pilgub Jakarta, berada d tengah2 kubu “mereka” dari sudut pandangku. Lebih mungkin d dengar daripada tokoh lainnya.

Tujuannya mulai terlihat.

Rekonsiliasi harus d awal. Bukan ketika kemenangan sudah d raih. Bukan ketika kita sudah harus sibuk menghadapi ke tidak stabilan dunia persilatan d jaman Donald Trump.

Bila tdk rekonsiliasi d awal, impian om Wowo tentang perpecahan Indonesia d tahun 2030 bukanlah khayalan belaka.

Ini bukan soal siapa yg menang dan siapa yg kalah.

Persatuan dan kesatuan bangsa d negara yg, entah anda suka atau tidak, lebih dari 80% penduduknya Muslim ini lebih penting dari rasa empet ku, lebih besar dari egomu, dan tentunya lebih bermanfaat bagi anak cucu kita semua.

“Kwek, dari tadi lu ngomongin nyinyir dan hoax k Anies. Emang Jokowi gak ngalamin?” tanya temenku Nadewsab Seina.

Enggak bro, pakdhe mah emang PKI, antek Mamarika, antek Russia, antek Wahyudi, keturunan China, kafir, planga plongo, boneka, krempeng dan lain sebagainya. 

Temenku yg satu ini emang semprul 

(kwek)

Comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

News Feed