by

Pilpres Tukang Sulap

 

Dengan menuliskan persoalan survei ini kembali, saya tidak dalam keberatan dengan hasil, atau mengkili-kili soal independensi. Karena kadang nila setitik dipakai menggoreng susu sebelahnya. Apalagi ini jaman medsos, dimana sensibilitas dan sensitivitas generasi sekarang dan generasi JO, pastilah beda. Meski kecepatan menemukan iptek tak dibarengi kecepatan masyarakat menemukan kebijaksanaan, sebagaimana tergambar dalam tuitan Ninuk P dan Rene P.

Ini soal literasi, baik literasi politik maupun literasi an sich, dengan berbagai implikasi logisnya. Demikian pula dalam cara kita membaca sebuah hasil survei, di mana kita lihat orang berpendidikan macam Sudirman Said bisa histeris, “Elektabilitas Jokowi-Ma’ruf merosot luar biasa,…” Itu karena dia sedang berperan sebagai politikus, politikus pupuk bawang maksudnya.

Makanya survei bisa dilihat dari dan dengan berbagai sudut kepentingan, di samping sudut akal. Sebagai gambaran kecenderungan, hasil sebuah survei bisa menjadi warning. Tetapi di sisi lain, juga bisa memunculkan jebakan, atau alat mendelegitimasi segala hal yang kelak merugikannya. Di situ Jokowi lebih bisa melihat dan membaca, bahwa untung survei itu dipublikasikan kemarin, jadi ia tahu di mana kelemahannya.

Apakah rakyat yang 2014 telah memberikan pilihannya pada Jokowi, akan dengan mudah berbalik pilihan, jika Pilpres 2019 ini tak lebih hanya pengulangan? Bedanya kini kerumunan orang-orang dengan cap dan reputasi tertentu, makin dipenuhi ujaran kebencian. Bahkan ada yang menganggap sebagai perang badar, nangis-nangis maksa Tuhan mengabulkan doanya. Kemudian kampanye kita berbuncah istilah langit; seperti sorga, malaikat, bahkan Tuhan diseret-seret dalam rangka mengeksploitasi kegagapan kita beragama.

Meski di toko sebelah ada Rocky Gerung, yang masih juga bilang pakai jaket biru bergaruda merah karena kedinginan, mari kita lihat masalah dengan lebih waras. Jangan mudah gumun dengan retorika, keindahan semantika, apalagi mirasantika. Sejak jaman Mataram Kuna, Singasari, Majapahit, Mataram Modern, Jakarta, tukang obat selalu belajar dulu ilmu sulap. Kita meleng dikit, dompet amblas.

(Sumber: Facebook Sunardian W)
 
 

Comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

News Feed