by

Pilkada DKI 2017 dan Degradasi Parpol

 

Oleh : Muhammad AS Hikam

Ada sebuah ungkapan bijak bahwa di dalam kesulitan atau keterpurukan apapun, selalu ada hikmah yang bisa didapat. Saya sepakat dengan pesan moral tersebut, khususnya jika dihubungkan dengan kondisi carut marut kehidupan politik kita saat ini. Yaitu adanya fenomena terjadinya degradasi kualitas, kredibiltas, dan tentu saja akseptabilitas parpol dan para elitenya. Dlm kondisi yg berbahaya bagi kehidupan bermasyarakat dan berbangsa serta bernegara, kita tetap bisa mengambil pelajaran dan menggunakannya bagi perbaikan di masa depan.

Berbagai indikasi mengenai kondisi degradasi tsb sudah banyak kita temukan: makin rendahnya tingkat kepercayaan publik (public trust) terhadap parpol; rendahnya kepercayaan publik terhadap DPR/D; masih terus terjadinya tipikor oleh anggota DPR/D; produktifitas yg rendah dalam menjalankan fungsi sebagai lembaga perwakilan; dan yang paling mencolok adalah langkanya kader parpol sebagai calon pemimpin yg bermutu. Yg terakhir ini sangat kasat mata ketika rakyat di seluruh Indonesia disuguhi sebuah fakta bahwa tak satupun bacalongub yg maju dalam Pilkada DKI berasal dari kader parpol. Hanya bacawagub yg berasal dari parpol (PDIP dan Gerindra), yaitu Djarot Syaiful Hidayat (DSH) dan Sandiaga Uno (SU)

Rasanya tak ada contoh degradasi parpol yg begitu nyata melebihi Pilkada di ibukota, yg konon menjadi cermin dan etalase politik di Nusantara itu. Ini tampak jelas dalam kasus penentuan paslon dari kubu Koalisi Kekekluargaan (KK). Kondisi degradasi itu terjadi karena sikap dan perilaku parpol dlm KK tidak lagi berdiri tegak di atas prinsip demokrasi yaitu “dari, oleh, dan untuk rakyat.” Alih-alih, parpol-2 tsb menjadi sebuah organisasi dan lembaga politik yg sulit dibedakan dengan sebuah kartel, yakni pengelompokan para boss mafioso yg hanya memikirkan kepentingan para elitenya dan kelompoknya. Parpol-parpol tsb, jadinya, bukan berfungsi menjadi kekuatan politik strategis yang merupakan ‘leading sector’ dalam membawa kepentingan bangsa dan negara, tetapi hanya kepentingan sendiri-2.

Inilah yg menyebabkan mengapa parpol-2 penantang petahana itu kemudian gagal memunculkan figur-figur yang memiliki popularitas, kapabilitas dan elektabilitas yang seimbang, sehingga akan melahirkan sebuah kontestasi calon pemimpin yang bermutu tinggi serta sesuai dengan kehendak rakyat DKI. Alih-alih, paslon-2 yg muncul sebagai penantang petahana adalah orang-2 yg belum teruji mutunya dan diseleksi tanpa memperhatikan suara dan kepentingan rakyat, tetapi hanya selera para boss ‘kartel parpol’ itu.

Kasus terpentalnya tokoh-2 kelas nasional seperti Rizal Ramli (RR) dan Yusril Ihza Mahendra (YIM) adalah salah satu bukti yg sulit dibantah. Keduanya tak terpilih bukan karena kalah berkualitas dari paslon yg kemudian diusung oleh parpol KK, tetapi karena mereka berdua dianggap tidak sesuai dengan kepentingan subyektif para elite parpol tsb. Bahkan, dlm kasus YIM, alasan kubu KK-Cikeas utk menolak mantan Menkumham itu sangat tidak bermutu: 1) Karena YIM adlh seorang Ketua parpol di luar KK, dan 2) Karena YIM dianggap agak sombong.

Kedua alasan tersebut selain ekonomis dalam nalar, juga ekonomis dalam kejujuran. Sebab jika YIM ditolak karena beliau bukan anggota parpol-2 KK, lalu mengapa beliau diizinkan mendaftar? Padahal dari seluruh paslon yg didukung KK, saya kira hanya YIM yg memiliki tingkat elektabilitas, popularitas, dan kapasitas yg bisa menjadi pesaing sang petahana. Ini artinya parpol-2 tsb ogah utk menjadikan kepentingan rakyat sebagai tolok ukur utama. Kalau soal kesombongan YIM dijadikan alasan, bukankah terlalu subyektif dan susah diukur? Bukankah rakyat DKI lebih ‘obyektif’ menilai dalam hal yg satu ini? Sebab faktanya YIM diterima oleh banyak kelompok di masyarakat sipil di ibukota, sehingga jelas telah mematahkan alasan yg menurut hemat saya ‘norak’ itu.

Walhasil, jika memang kualitas parpol-2 di DKI telah mengalami degradasi yg sedemikian parah, maka konsekuensi logisnya adalah rakyat juga kayaknya tak perlu repot-repot amat untuk menentukan pilihan dala pemungutan suara bulan Februari th depan. Dan yg lebih penting lagi, jangan heran kalau rakyat bersiap-siap utk melupakan dan/atau meninggalkan parpol-2 yang abai terhadap prinsip demokrasi tersebut dalam menghapai Pemilu dan Pilpres 2019.**

Sumber : facebook Muhammad AS Hikam

Comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

News Feed