by

Pesan Pram Untuk Tere Liye

Oleh : Zulfikar Akbar

Tiba-tiba saya merindukan sastrawan yang pernah dituduh PKI: Pramoedya Ananta Toer. Persis ketika di internet yang saya buka saban hari, berseliweran nama Tere Liye. Penulis yang konon bernama asli Darwis ini melontarkan sikap menafikan peran Komunis dalam mendirikan Negara Indonesia ini.

Ya, mereka yang membaca sejarah dengan jujur dan berpikiran terbuka, jelas saja tertawa dan bahkan mengalamatkan sumpah serapah kepadanya. Mereka merdeka tertawa dan melempar sumpah serapah, karena “dosa” perilaku yang katanya tidak sopan seperti ini masih lebih kecil daripada menyesatkan manusia dengan kabar dusta.

Maka itu, Darwis dikeroyok. Kalimat penafian peran di luar satu aliran dalam mengejar kemerdakaan Indonesia yang ditulisnya di akun Facebook, disebar, dibedah. Ah, sebentar, saya buka playlist sejenak untuk memutar lagu Lord of Light-nya Iron Maiden, agar otak saya tidak tertidur.

 Baik, kita lanjutkan.

Ya ada memang yang melempar sumpah serapah. Tapi tak sedikit yang memilih membedah kenapa kesimpulan seperti Darwis bisa muncul. Masalahnya, itu datang dari seorang penulis yang konon bukunya jadi buruan mereka yang menginginkan surga di akhirat nanti. Tiba-tiba saya membayangkan, jika orang-orang yang jadi korban pengibulan, menjadi tukang kibul, lalu benar-benar masuk surga. Sangat tidak enak bertetangga dengan orang-orang yang gemar menyebar dusta ̶ maaf, saya kok jadi begini yakin juga masuk surga ̶ atau jangan-jangan saya juga bagian dari mereka yang gemar menebar dusta.

 Ah, tapi saya tak percaya jika mereka yang mengizinkan kabar-kabar palsu masuk ke kepalanya, dan membantu menyebarkannya akan masuk surga. Sebab, untuk mereka kalaupun mendapatkan tiket untuk masuk surga, mungkin saja hanya tiket palsu.

Mau saya bilang, gelisah saat tameng agama dijadikan alat untuk memperlihatkan yang salah menjadi benar dan yang benar terlihat salah. Itu, penafian atas peran ideologi lain yang disebar si Darwis, saya simak juga tak lepas dari cinta yang benar-benar buta.

Ia mungkin lupa, cinta buta itu hanya berlaku bagi remaja yang tertarik kepada lawan jenis karena cantiknya, gantengnya, hingga tak mau tahu aroma tahinya seperti apa.

Memang, tren memutarbalikkan fakta itu sudah ada sejak orde kedua pemerintahan di negeri ini. Setidaknya paling men-tradisi di era itu. Penjahat bisa terlihat sebagai malaikat, si bejat bisa terlihat seperti anak malaikat, si keparat bisa dibikin sewibawa cucu malaikat. Seperti juga pemutarbalikan sejarah itu sendiri berjalan hingga beranak bercucu.

Darwis jadi korban. Buku-buku yang membesarkannya, jadi tak terlihat besar lagi, hanya karena satu konten yang ia tulis seasalnya di jejaring sosial. Tak sedikit yang menghakiminya sebagai pemilik pikiran kerdil, berwawasan kecil. Vonis “hakim” itu jatuh, mungkin karena banyak yang khawatir jika kelak kembali terjadi tradisi mewarisi hal-hal kerdil dan merasa cukup hanya sekadar sebagai “bangsa yang besar”.

Makanya, saya bilang, Pram jadi lebih saya rindukan. Kalaupun iya dia sebagai Komunis, PKI, atau apa saja, tapi ia penulis terhebat yang pernah kukenal–meski hanya lewat karyanya.

Pram tidak banyak menyebut atau menyitir ayat suci. Baginya yang dibutuhkan untuk benar-benar suci itu adalah akal, pikiran, dan hati. Hanya dengan itu saja maka bisa melahirkan sesuatu yang juga suci, walaupun manusia takkan memuja karya yang dilahirkannya setara kitab suci.

Pram memilih untuk menyucikan dirinya lewat penjara, lewat pukulan serdadu. Dia baru bisa benar-benar hidup selayaknya anak bangsa yang merdeka di usia tua atau menjelang ia diajak jalan-jalan oleh malaikat pencabut nyawa ke alam sana. Walaupun bagi lawan politiknya, ia dilihat tak ubahnya noda, yang harus dijauhkan.

Baginya, saya menulis dan membuka sejarah apa adanya, tak peduli ini kelak akan diganjar penghargaan atau penjara–mungkin itu juga yang membuatnya mendapatkan semuanya, ya penghargaan ya penjara.

Masa depan butuh referensi yang benar untuk bisa menciptakan rencana benar. Tak heran, Pram itu menjadi penggila kliping koran meski ia dipenjara. Itu sebagai ekspresi sederhananya untuk mengejar yang benar, membiasakan dirinya pada hal-hal yang benar.

Dia dituding PKI, dia dituding Komunis, persetan dengan semua tudingan. Baginya, entah penulis entah politisi, atau siapa saja, walaupun pernah mendapatkan tanda tangan Tuhan–terbayang penulis yang dikejar penggemar untuk tanda tangan– tetap tidak berharga jika gagal mewariskan hal-hal benar.

Penulis, bagi Pram, yang diutarakan lewat banyak tulisan, adalah jembatan untuk pembacanya ke mana kelak mereka melangkah. Maka itu, Pram tak gemar buru-buru, maka itu ia berterima kasih pada Pulau Buru, yang membinanya untuk menjadi penulis yang sabar. Pram tak suka buru-buru, tapi apa yang sudah dilahirkannya masih terus diburu. Saya simpulkan saja begitu.

Maaf, rekan Darwis, saya mendudukkan Anda di bawah orang yang oleh sejarah dituduh sebagai PKI, sebuah partai politik pertama yang berani menunjukkan diri sebagai Indonesia. Tak masalah jika saya lantas Anda masukkan sebagai tipe rakyat dari “negeri para bedebah.” Ini hanya demi sejarah.

Sumber : Kompasiana

Foto : Kompasiana

Comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

News Feed