by

Pertarungan Bahasa Inggris vs Bahasa Arab di Tanah Arab

na merebaknya Bahasa Inggris ini bukan hanya di Mesir saja tetapi juga di kawasan Arab lain seperti Saudi, Qatar, Uni Emirat Arab, Kuwait, Libanon, Yordania, Bahrain, dlsb. Karena itu tidak mengherankan jika Anda menjumpai orang-orang Arab yang cas-cis-cus dalam berbahasa Inggris: good mornang-good morning, brathar-brother, baba-mama…

Perkembangan pesat Bahasa Inggris ini pelan-pelan telah menggerus eksistensi Bahasa Arab yang dianggap kurang mampu beradaptasi dengan perkembangan teknologi. Bahasa Inggris juga menjadi “bahasa elit” karena banyaknya industri-industri besar dan transnasional, selain sekolah-sekolah atau kampus-kampus yang meniru model Barat. Bukan hanya itu, anak-anak dan remaja juga menggemari Bahasa Inggris karena banyaknya game-game yang menggunakan “Bahasa Londo” ini.

Kekhawatiran tentang “teknologi membunuh Bahasa Arab” ini direspons oleh Syaikha Moza, Kepala Qatar Foundation for Education, Science, and Community Development, dengan menggalang pembentukan “Forum Renaisans Bahasa Arab.” Sebuah simposium akbar tentang pentingnya menjaga dan merawat Bahasa Arab digelar di Qatar, negara tetangga Saudi yang juga bermazhab “Hanbali-Wahabi” tetapi Hanbali-Wahabi yang moderat dan modern. Simposium ini diselenggarakan oleh “Forum Kebangkitan Bahasa Arab” dan disponsori oleh World Organization for Renaissance of Arabic Language (WORAL) dan Qatar Foundation. Forum ini melibatkan lebih dari 300 peneliti dan tokoh dari berbagai kalangan dan latar belakang keilmuan: pendidik, jurnalis, birokrat, pengusaha, dlsb.

Ketua Dewan Penasehat WORAL Abdul Aziz bin Abdullah Al-Subaie menekankan tentang pentingnya pendidikan Bahasa Arab bagi anak-anak. Sementara Syaikha Moza Binti Nasser, Kepala Qatar Foundation for Education, Science and Community Development meminta semua pihak untuk bersatu menggalakkan, mengembangkan, dan memasyarakatkan Bahasa Arab standar agar tidak punah di kemudian hari. Syaikha Moza juga menegaskan bahwa punahnya bahasa berarti lenyapnya identitas sebuah bangsa.

Dunia Arab dewasa ini memang sedang dihadapkan pada persoalan pelik dan ancaman punahnya Bahasa Arab standar dan Bahasa Arab klasik (fushah). Ada beberapa faktor yang menyebabkan “terpuruknya” Bahasa Arab standar dan fushah ini. Pertama, masyarakat Arab kontemporer lebih menyukai “Bahasa Arab gaul” atau bahasa/dialek colloquial (ammiyah), yakni Bahasa Arab informal yang dipakai dalam pergaulan sehari-hari, ketimbang Bahasa Arab standar yang baku. Penggunaan “Bahasa Arab gaul” ini tidak hanya dalam komunikasi sehari-hari tetapi juga di media, sekolah-sekolah, televisi, dlsb. Maraknya penggunaan Bahasa Arab gaul ini menyebabkan Bahasa Arab standar dan baku yang sesuai dengan kaedah tata-bahasa (nahwu-sharaf) menjadi terasing dan termarjilankan.

Jika Bahasa Arab standar modern saja tergerus dari masyarakat apalagi Bahasa Arab klasik yang digunakan dalam Al-Qur’an, teks-teks / kitab klasik keislaman, berbagai ibadah atau ritual keagamaan, syi’ir, dlsb. Bahasa Arab fushah ini semakin langka dan “antik” dan nyaris tidak pernah dipakai dalam literatur keilmuan apalagi dalam kehidupan sehari-hari sehingga macet dan terancam tenggelam terkubur dalam limbo sejarah, dan penguburnya adalah masyarakat Arab sendiri.

“Murid senior” saya dari Madinah, Ali Muhammad Al-Harbi bahkan mengatakan masyarakat Arab modern (selain “komunitas literati” dan “kaum agamawan” tentunya)–apalagi anak-anak, remaja, dan pemuda–bahkan banyak yang tidak paham dengan Bahasa Arab fushah ini. Sambil berkelakar ia mengatakan, “Bahasa Arab fushah ini seperti ‘bahasa mahluk alien’ saja sekarang ini yang semakin hari semakin asing, klasik, dan antik…”

Jabal Dhahran, Jazirah Arab

 

(Sumber: Status Facebook Sumanto AQ)

Comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

News Feed