by

Persahabatan Botol dan Tasbih

“Nurdin sahabat saya. Saya belum bisa menghentikan kebiasaannya. Saya baru bisa menemani agar bisa menjaganya. Menjaga agar mabuknya tak melebar kemana-mana. Saya kuatir habis minum merembet perbuatan yang bukan-bukan.”

Peserta musyawarah menghela nafas secara berjamaah. Gelas-gelas teh manis yang masih isi tiga seperempat tak ada yang menyentuhnya. Suara tokek berbunyi nyaring seolah sedang menghitung waktu yang kosong tanpa suara. Akhirnya Kyai Bukhori sendiri yang mengambil alih. Ma’il diajak diskusi secara bapak-anak ketika semua sudah pulang.

“Kalau gara-gara kau berdekatan dengan Nurdin, lalu banyak jamaah yang tidak nyaman dengan masjid kita, menurutmu bagaimana?” pancing Kyai Bukhori. Teh panas diseruput lagi untuk mendinginkan suasana.

“Bagaimanapun, kenyamanan jamaah harus diutamakan,” jawab Ma’il sangat sopan.

“Jadi kau akan bersikap bagaimana?”

Ma’il tak langsung menjawab, setiap membicarakan Nurdin, matanya terasa hangat. Ingatannya akan terlempar lagi ke masa silam, ke satu peristiwa yang hampir merenggut nyawanya.

Waktu itu ia masih kelas dua SD. Pulang sekolah melewati jembatan bambu yang licin setelah diguyur hujan. Ma’il terpeleset dan jatuh ke sungai yang airnya cukup deras. Tak ada orang dewasa saat itu, yang ada hanya kawan-kawan sekolahnya yang tak berani berbuat apa-apa selain berteriak-teriak ketakutan. Untunglah ada Nurdin, si murid bengal yang paling rajin membolos. Di satu sisi, dia memang anak yang paling nakal, di sisi lain dia paling suka bermain dan berinteraksi dengan alam. Baginya sungai hanyalah taman bermain saja. Ma’il tak bisa membayangkan, jika saat itu Nurdin tak membolos dan bermain-main di dekat sungai, jangankan bisa menjadi seperti sekarang, menerima rapot kenaikan kelas tiga saja mungkin tidak.

Ada kesadaran yang terus menancap dalam ingatannya, Tuhan tidak mengutus anak pintar untuk menolongnya. Tuhan tidak mengutus orang yang rajin ke masjid untuk menyelamatkannya. Tuhan mengutus anak bengal dan rajin membolos untuk bertarung melawan derasnya arus sungai demi menyelamatkannya. Sejak saat itu ia merasa hutang nyawa pada Nurdin. Sejak saat itu pula ia berjanji tak akan meninggalkan Nurdin dalam keadaan apapun. Dia akan menemani Nurdin walau semua orang menjauhinya.

“Ngapunten, Kyai, kalau saya mundur dari sini, banyak gantinya. Tapi kalau saya mundur dari Nurdin, kasihan dia.”

Dengan takzim Ma’il meraih tangan Kyai Buchori dan diciumnya. Sejak pembicaraan itu, Ma’il tak datang lagi ke masjid. Subuh tidak nampak. Duhur tak hadir. Ashar absen. Maghrib masih raib. Barulah selepas isya, ketika jamaah baru menyelesaikam sunnah ba’diah, seseorang lari tergopoh-gopoh menemui Kyai Bukhori membawa kabar buruk. Ma’il kecelakaan ditabrak mobil box pengangkut minuman. Sekarang sedang dirawat di RSUD, keadaanya kritis. Langsung sesak dada Kyai Bukhori mendengar kabar itu.

Dengan meminjam mobil pick up Pak Tohir, Kyai Bukhori ditemani beberapa pengurus DKM meluncur ke RSUD. Jalan berlubang dan laju mobil yang dikemudikan orang panik tak membuatnya pusing. Pusing itu karena masih terngiang kasak-kusuk sebagian jemaah yang mengaitkan kecelakaan ini sebagai teguran keras dari Allah atas sikap Ma’il membela si tukang minum. Untunglah masih ada jemaah lain yang menahan diri untuk berfikiran buruk, menerka-nerka takdir yang tak mereka ketahui.

Sampai di RSUD mereka tak diperbolehkan menjenguk karena Ma’il sedang dalam penanganan yang serius. Sejauh ini belum sadar. Daripada menunggu dengan pikiran tak menentu, Kyai Bukhori mengajak rombongan pergi ke mushola rumah sakit untuk bermunajat pada Allah minta keselamatan untuk Ma’il. Kalaupun ada yang salah dengan sikap Ma’il semoga masih diberi waktu untuk memperbaikinya. Kalau sikapnya benar, semoga kebenaran itu ditunjukkan seterang-terangnya.

Mushola sudah sangat sepi. Sebegitu sepinya sampai-sampai suara isak yang begitu lirih bisa terdengar dari jarak sepuluh langkah. Kyai Bukhori dan rombongan memperlambat langkahnya. Sampai depan pintu mushola mata mereka terpaku pada sosok seorang lelaki yang sedang bersujud sambil menangis: Nurdin. Suaranya terbata-bata, berselingan antara sengal nafas, isak tangis dan doa.

“Ya, Allah. Aku tobat.. Aku nggak akan minum lagi, nggak akan mabuk-mabukan lagi. Janji.. Tapi tolong Kau selamatkan Ma’il. Kalau Kau ambil sekarang, aku tak punya siapa-siapa lagi. Tak ada lagi orang baik yang mau menemaniku. Jangan hukum dia karena dosa-dosaku, Ya, Allah. Selamatkan Ma’il. Beri dia umur lagi agar bisa melihatku jadi orang baik.”

Tangisan itu makin panjang dan makin mengiris-iris. Tak terasa air mata juga ikut meleleh satu persatu dari mata Kyai Bukhori, Lik Daman, Pak Qodar, dan Pak Tohir. Seperti ada yang mengkomandoi, bibir mereka bergerak dan tangan menengadah.

“Aamiin……”

Nurdin menoleh dan terkejut melihat orang-orang masjid yang tiba-tiba mengamini doanya. Ia bangkit langsung bergegas ke arah Kyai Buchori dan tersungkur di kakinya sambil menangis tersedu-sedu.

“Inyong tobat, Kyai. Nyong kapok ora bakal ngombe maning. Emoh mendem maning. Tulung sampeyan sing matur karo Gusti Allah, Suarane kyai mesti dirungokna. Suarane Nyong mambu ciu.”

(Saya tobat, Kyai, nggak akan mabuk-mabukan lagi. Tolong Kyai yang bicara sama Gusti Allah. Suara Kyai pasti didengar.

Hati Kyai Bukhori bergetar hebat. Tak kuasa ingin dipeluknya lelaki itu. Tiba-tiba ia sangat menyayanginya dengan sayang yang sama pada Ma’il.

“Gusti Allah mesti krungu. Umpamane dosamu sak gendul, sak krat, sisan sak pabrik, pangapurane Gusti Allah isi luwih amba kayak banyu segara.”

(Gusti Allah pasti mendengarmu. Ibarat dosamu sebotol, sekrat, atau sepabrik sekalian, pengampunannya luas melebihi lautan.)

Gerimis turun, dalam hitungan menit menderas menjadi hujan sedang. Seorang perawat menerobos tanpa payung menjumpai mereka, mengabarkan masa kritis Ma’il sudah lewat. Seketika ada lagi yang menderas tapi bukan hujan, mengalir dari sudut mata. Kyai Bukhori yakin kabar yang dibawa perawat ini juga merupakan kabar gembira dari langit bahwa Allah berkenan menurunkan ampunan. Sementara bagi Nurdin, setelah bertahun-tahun ia mendengar dan hafal lagu Keagungan Tuhan, baru kali ini ia meyakini kebenaran syairnya.

Dialah pengasih dan penyayang
Kepada semua insan
Janganlah ragu atau bimbang
Pada keagungan Tuhan
Betapa Maha besarnya kuasa sealam mesta.

Sumber : Status Facebook M Dedy Vansophi

Comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

News Feed