by

Perempuan di Pusaran Aksi Terorisme

Masih dari negara yang sama, aktivis anti-aborsi garis keras melancarkan teror untuk menyetop praktik pengguguran bayi yang telah dilegalkan sejak 1973. RAND researcher menginformasikan, sampai tahun 2003 sejak hak perempuan untuk melakukan aborsi diakui, tercatat lebih dari 300 aksi kekerasan ekstrem terhadap penyedia-penyedia jasa aborsi mulai dari pembakaran dan pengeboman klinik, pembunuhan tenaga medis, sampai penyerangan dengan asam butirat.

National Abortion Federation mencatat dalam laporannya, sejak 1977 hingga 2016, terjadi 11 pembunuhan, 69.191 email kebencian dan pelecehan, 42 pengeboman klinik, 252.470 protes yang menghambat para pekerja klinik aborsi beraktivitas, dan aksi-aksi kekerasan lainnya yang dilakukan aktivis anti-aborsi di Amerika Serikat.

Korban terorisme tidak hanya mereka yang bersinggungan langsung dengan pelaku. Perempuan-perempuan muslim pascatragedi 11 September juga dikatakan sebagai korban tak langsung. Pasalnya, sejak aksi terorisme tersebut, mereka kerap kali dilekatkan dengan stereotip negatif, bahkan menerima perlakuan diskriminatif atau perundungan di lingkungan mereka beraktivitas hanya karena mengenakan atribut keagaamaannya seperti jilbab. 

Perempuan yang Tidak Takut Menjadi Teroris

Selain di sisi korban, ada pula perempuan yang terlibat dan dilibatkan dalam aksi-aksi terorisme sebagai pelaku. Pada pengujung abad 19, Vera Zasulich, seorang perempuan di Rusia tidak gentar melakukan aksi teror dengan mencoba membunuh Trepov, Gubernur St. Petersburg. Saat berada di pengadilan, Zasulich mengatakan dirinya bukan pembunuh, tetapi dengan bangga ia menyatakan, “Saya adalah teroris.”

Shcheblanova dan Yarskaya-Smirnova (2009) yang berkontribusi dalam buku Gender Dynamics and Post-conflict Reconstruction menyatakan bahwa sekalipun Zasulich—yang tercatat sebagai anggota kelompok revolusioner Narodnaya Volia (Popular Will)—melakukan aksi teror, ia justru dianggap sebagai pahlawan oleh publik karena berani melawan ketidakadilan sosial.

Di Irlandia Utara, Provisional IRA, organisasi yang menuntut independensi Irlandia dari Kerajaan Inggris, melibatkan para perempuan untuk mendukung aksi anggota-anggota laki-laki. Dua nama tercatat sebagai perempuan yang berani turun dalam upaya pengeboman seperti Marian dan Dolores Price. Tahun 1973, mereka dijatuhi hukuman seumur hidup atas pengeboman di Old Bailey yang menyebabkan 216 orang luka-luka dan seorang meninggal.

Lindsey O’Rourke dari University of Chicago mencatat sejak tahun 1980 di Lebanon, perempuan ambil andil dalam aksi terorisme untuk mengusir pasukan Israel. Sementara itu, di Chechnya mulai tahun 2000-an, kelompok Black Widows berani melakukan aksi serangan bunuh diri seiring dengan kematian suami-suami mereka. Dilansir The New York Times, banyak hipotesis yang muncul mengapa perempuan-perempuan ini mau melakukan tindakan terorisme.

Ada yang mengatakan mereka putus asa, mengalami gangguan jiwa, ditekan oleh laki-laki atas nama agama, frustrasi dengan ketidaksetaraan gender yang ada, dan lain sebagainya. Namun, riset yang dilakukan O’Rourke justru menemukan hal lain di luar hipotesis-hipotesis itu. Motif utama yang mendorong perempuan menjadi teroris ternyata serupa dengan motif laki-laki. Malangnya, representasi di berbagai sumber informasi malah meneguhkan kesalahkaprahan dalam memandang faktor yang menyebabkan perempuan menjadi teroris.

Lazimnya, perempuan menjalani proses pemeriksaan tidak lebih ketat daripada laki-laki saat berhadapan dengan petugas keamanan. Mereka sering kali dianggap tidak membahayakan sehingga petugas keamanan lengah dan insiden pengeboman yang dilakukan perempuan pun tidak terelakkan.

Salah satu aksi pengeboman yang sukses di Libya dilakukan seorang perempuan yang membawa anak-anak kecil untuk mengelabui petugas keamanan. Anak-anak kecil tersebut tampak malnutrisi sehingga petugas tidak merasa curiga terhadap perempuan yang membawa mereka. Setelah anak-anak tersebut dibawa ke dalam ambulans, sang perempuan teroris meledakkan diri dan mencederai lusinan orang.

Dalam konteks teror yang dilakukan kelompok Boko Haram, beberapa korban penculikan juga pada akhirnya ada yang dipaksa menjadi pelaku teror seperti bom bunuh diri. Salah satu laporan International Center for Investigative Reporting Nigeria mengungkapkan mengapa remaja putri 14 tahun yang diduga hendak melakukan bom bunuh diri dan tertangkap oleh militer mau menjalani aksi tersebut.

Setelah tiga tahun disekap oleh Boko Haram, ia beberapa kali diminta menikahi relawan kelompok garis keras tersebut, tetapi terus menolak. Akibatnya, beberapa petinggi Boko Haram memaksa dia melakukan bom bunuh diri di pusat kekuatan militer di Jakana, Maiduguri sebelum akhirnya tertangkap.

Di dalam negeri sendiri, tercatat pada Desember 2016 silam dua perempuan terlibat dalam rencana aksi terorisme. Yang pertama, ibu rumah tangga berinisial TS yang diduga hendak melakukan pengeboman di Bekasi, sementara lainnya, perempuan berinisial DYN berhasil diamankan polisi setelah diduga berencana meledakkan Istana Presiden.**

Sumber : tirto

Comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

News Feed