by

Perbedaan Pendapat di NU Itu Biasa

Nahdlatul Ulama berdiri dengan semangat mewarisi tradisi 4 mazhab fiqh di atas. Itu sebabnya perbedaan pendapat di kalangan ulama NU juga hal biasa. Para santri senior sudah terbiasa membaca berbagai kitab fiqh yang membahas berbagai perbedaan pendapat para ulama. Dalam Bahtsul Masail adalah hal biasa bagi para santri berdebat panas, namun setelah itu ya guyonan lagi.

Perbedaan pendapat Hadratus Syekh Hasyim Asy’ari, pendiri dan Rais Akbar NU, dengan KH Faqih Mas Kumambang yang merupakan wakil beliau, sudah sangat populer di kalangan para Kiai. Namun kedua kiai besar kita ini tetap santun dan saling menghormati. Begitu juga perbedaan pendapat antara KH Wahab Chasbullah dengan KH Bisri Syansuri juga menjadi legenda di kalangan NU. Sewaktu Gus Dur masih ada, beliau juga sempat berpolemik di media massa dengan adik kandungnya, Gus Sholah. Sekali lagi, ini hal yang biasa di lingkungan NU.

Kenapa demikian? Karena para Kiai tahu ilmunya. Perbedaan pendapat di kalangan orang berilmu itu justru bagian dari proses pengembangan ilmu dan pembelajaran bagi para santri. Yang penting diskusi dilakukan dengan santun, terhormat, dan substansinya pada argumen, bukan menyerang pribadi.

Itu sebabnya keputusan di tingkat PBNU seringkali tidak diikuti oleh umat di lapisan bawah karena umat merujuk ke Kiai NU lokal di sekitar mereka. Independensi para Kiai dalam beritijhad dan mengabdi pada umat itu harus dihormati. Ini juga sebabnya NU bergerak di antara bandul jam’iyah dan jama’ah. Ini sebuah kelemahan sekaligus sebagai kekuatan NU. Kelemahan karena keputusan organisasi sering tidak jalan di lapangan, tetapi dianggap kekuatan karena suara NU yang berbeda membuat NU susah diprediksi dan selalu lentur dan bisa melenting ke segala penjuru. Pihak-pihak yang hendak membungkam atau membajak NU akan kepusingan sendiri.

Ini bedanya NU dengan organisasi modern yang satu komando, atau patuh begitu saja pada keputusan qiyadah. Atau kemudian diancam murtad, kafir, dll hanya karena berbeda pendapat. NU itu unik. Makanya banyak yang gagal paham.

Di Jaman Orde Baru misalnya ada Kiai NU yang masuk Golkar, ada yang setia di PPP dan malah ada yang mendekat ke Megawati. Pilpres yang lalu, Ketum PBNU dalam kapasitas pribadi mendukung Prabowo, Waketum PBNU juga dalam kapasitas pribadi malah mendukung Jokowi. Maka ada Kiai yang membela Jokowi dan ada yang membela Prabowo. Masing-masing punya ijtihadnya sendiri. Walhasil, semua pihak diayomi, semua diaku sebagai anak bangsa, dan semua merasa diajak bersama membangun bangsa. Yang menang dipeluk, yang kalah dirangkul, dan tidak ada yang merasa dipukul.

Kalau anda berkesempatan sowan ke rumah para Kiai NU, anda akan lihat para tamu yang berdatangan itu dari mulai jomblo yang nyari jodoh, para pengusaha, para penguasa sampai urusan anak sakit, kunci rumah hilang, semuanya mengadu ke para Kiai, dan semua dilayani, diayomi dan dibikin nyaman. Gak ada yang lantas takut mendekat karena akan disalah-salahkan para Kiai atau dianggap kurang islami. Ini karena para kiai sudah biasa melihat keragaman budaya, keragaman pendapat dan keragaman pilihan politik. Inilah ahli waris Nabi Muhammad yang sesungguhnya. Apik kabeh 

Yang main mutlak-mutlakan dalam semua persoalan, merasa mutlak paling benar dan merasa mutlak masuk surga akan terkaget-kaget melihat kiprah para Kiai dan santri. Disangkanya NU itu cuma hitam-putih saja. NU itu seperti pelangi yang warna-warni. Indah mempesona 

Tabik,

Nadirsyah Hosen 
Rais Syuriah PCI Nahdlatul Ulama Australia-New Zealand dan Dosen Senior Monash Law School

Comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

News Feed