by

Perbaikan Sistem Pendidikan dan Regulasi Dokter

Sementara di pendidikan spesialis banyak porsi praktiknya dan berpikir ilmiah seperti kajian jurnal terkait yang dipraktekkan itu. (Makanya saya heran kok ada spesialis, bahkan ada profesor, yang justru pakai teori konspirasi dibanding metode ilmiah? Kadang memang pakai jurnal, tapi main comot dan menyembunyikan sebagaian isi jurnalnya tadi).
Nah, ketika kengawuran-kengawuran itu dipublikasi lalu ditangkap masyarakat, ya masyarakat mengkonsumsi kengawuran pula.
Saya pikir ini bukan lagi sekadar soal etika, harus ada pendisiplinan aturan. Sudah ada aturan soal interaksi dokter-pasien. Belum ada aturan soal interaksi dokter-publik. Maka wajar ada akun dokter, masih muda, yang isi channelnya banyak ngawurnya.. hanya untuk dapat rating tinggi.
Saya membayangkan, meski ini tidak gampang, aturan terkait statement publik seorang dokter saat ia berlaku sebagai dokter. Ingat, dokter itu seharusnya bukan gelar pribadi tapi gelar profesional. Profesionalitas menuntut kedisiplinan.
Setidaknya publik tahu, kapan seseorang bicara sebagai dokter, kapan bicara sebagai pribadi.
Terkait dengan itu, perlu dipertegas, bahwa dokter adalah gelar profesional, bukan gelar kehormatan/pribadi. Jadi perlu diatur agar yang menggunakan gelar itu adalah yang secara profesional legal memenuhi syarat dan masih berpraktik secara profesional, baik klinis maupun akademis. Setidaknya profesi klinis dan akademis memiliki kontrol yang lebih baik daripada gelar kehormatan kultural yang gampang sekali dibajak oleh oknum medis sendiri.
Saat ini, STR merupakan tanda seseorang terdaftar sebagai dokter resmi, berhak menyandang gelar dokter, berlaku sebagai dokter. Setiap 5 tahun seorang dokter harus memperbarui STRnya dengan mengumpulkan syarat2 yang cukup banyak seperti bukti melayani pasien, sertifikat pendidikan berkelanjutan, workshop, seminar dll yang mengkondisikan ia harus terus update ilmu.
Lha masalahnya, oknum tanpa STR itu kemana-mana ngomong medis yang ngawur sambil bawa2 gelar dokternya. Padahal begitu tanpa STR ia sudah bukan dokter lagi dan (seharusnya, menurut saya ) nggak boleh bawa2 gelar dokter.
Yang perlu ditegaskan adalah penegakan aturan ini.
Apa perlu ditulis dr (purn) agar dibedakan mana dokter aktif dan dokter non-aktif? Tentu agak beda dengan tentara yang setelah purnawirawan tidak bisa aktif lagi (benarkah demikian?), dokter bisa aktif lagi kalau memenuhi syarat dan mendapat STR.
Sebelum adanya perbaikan, saya menghimbau kepada teman-teman saya sejawat dokter, agar proporsional dalam komunikasi publik. Kalau saat berstatement terkait medis, berlakulah secara profesional dengan kaidah ilmiah-kedokteran.
Bila bicara soal hal lain, tempatkan diri sebagai pribadi. Wajar kok sebagai seorang pribadi punya preferensi selain profesinya seperti pernah saya tulis di sini:
Saya sedikit banyak berusaha menempatkan diri begitu. Saat bicara di luar profesi dokter saya, sedapat mungkin tidak bawa2 gelar dokter, seperti saat bikin status soal spiritualitas, filsafat, seni, budaya, politik, agama dll.
Semoga ada perbaikan
 
Sumber : Status Facebook Alim

Comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

News Feed