Pernah ramai ada tuduhan ICW meneriman bantuan miliaran dari KPK untuk mendukung KPK. Yang medukuh tak sembarangan melainkan pakar hukum Romli Atmasamita di DPR RI, berdasarkan temuannya dalam laporan BPK pada Juli 2017 lalu.
Berita itu dibantah oleh petinggi ICW dan pihak KPK. Tapi ICW kemudin mengakui lembaganya menerima bantuan dana asing antara lain dari Walikota New York, RWI Migas dan sumber lain.
Dari pihak Istana menanggapi, penggunaan influencer ditujukan untuk menyasar program program yang bersentuhan dengan kelompok muda milenial.
Denny Siregar, aktifis media sosial, menyatakan apa yang dipublikasikan ICW merupakan “framing” pembentukan opini. Dia membandingkan, jika pun benar dana Rp. 90,45 miliar tergolong kecil dibanding biaya Rp 25 juta per 15 detik untuk penayangan iklan pemerintah di teve swasta dan advetorial / iklan sponsor halaman koran dan majalah terkemuka.
Pembelaan kepada influencer dari netizen pun berdatangan. Hukum kita tidak adil, kata salahsatu netizen. Media arus utama bebas menyebar berita bohong dan menyerang siapa yang dikehendaki dan bila melakukan salah atau menyebar hoax dilindungi oleh UU Pokok Pers. Padahal hoax sudah terlanjur tersebar dan sebagian pembaca terlanjut percaya.
Sedangkan aktifis media sosial harus berhadapan dengan UU ITE yang langsung diborgol dan dibui jika dianggap menyebarkan fitnah atau ujaran kebencian. Artinya tidak ada kesetaraan.
Sementara dari kubu influencer buzzer menyatakan bahwa seolah hanya media resmi saja yang boleh dan “halal“ menerima duit lewat halaman iklan artikel sponsor, dan laporan pesanan pada jam tayangnya. Sedangkan influencer dianggap “haram” menerima duit.
“Fungsi media mainstream dan influencer itu sama. Media media yang menghujat influencer itu seperti menghujat profesinya sendiri, “ komentar akun sulaiman @AntaYudha.
“Kalau media online gak mau disebut buzzer tapi advetorial. Tapi media utama menstigma dengan sebutan buzzerRp bila ikut mengkampanyekan program pemerintah. Poinnya si biar rupiah hanya mengalir ke media utama, “ tulis netis irwan @erwanice.
Selain itu, buzzer dan influencer tak melulu pro istana dn pro pemerintah. Buzzer pro oposisi dan kelompok radikal juga sangat banyaknya. Bahkan pemerintah akhirnya menggunakan buzzer untuk menangkis dan menghadapi serangan buzzer oposisi dan anti pemerintah. Apakah buzzer oposisi dan anti pemerintah gratisan? Tentu saja tidak juga.
SUKA TAK SUKA dunia memang sudah berubah. Kini media sosial tak lagi media pinggiran. Influencer sama pengaruhnya dengan media utama.
Pada masa lalu, berita di internet pernah tidak dipercaya, karena berbau gosip. Kini semua media utama membuka laman di internet.
Di era media sosial kini, para pesohornya memiliki follower hingga jutaan, bandingkan dengan media papan tengah yang “hanya” ratusan ribu.
Bagi korporasi yang sedang merilis dan mempromosikan produk barunya maupun lembaga yang sedang melakukan sosialisssi kebijakannya mengundang inflencer, bloger, vloger dianggap lebih menguntungkan ketimbang jurnalis konvensional.
Jurnalis konvensional terikat pada “independensi” dan alur birokrasi redaksi dan hanya tayang sesekali sehingga di lapangan cenderung “sulit diatur” pihak pengundang – sedangkan bloger dan vloger bisa dibujuk untuk posting berkali kali dan pesannya langsung menuju sasaran, kata Isson Khairul, jurnalis pensiunan Femina Grup yang kini jadi penulis bebas.
Diungkapkannya, dia pernah menyaksikan ada lembaga setingkat kementrian dan BUMN yang menjelaskan kebijakan instansinya dari A sampai Z dan mengundang 50 blogger. “Tidak ada satu pun jurnalisnya” katanya.
Saat ini kalau ada lembaga mengundng jurnalis semata mata upaya menjalin hubungan baik. Fungsi sosialisasi dan pemberitaannya sudah diambil alih sama bloger dan influencer, papar Isson Khairul.
Belum lagi – ramai isu bahwa ada media arus utama yang sengaja bikin judul atraktif dan laporan yang menyerang pemerintah, namun bersamaan itu tim marketing datang dengan penawaran iklan atau artikel sponsor. Modusnya mirip wartawan brodrex. Dipancing dengan serangan, tapi ujungnya minta pemasangan iklan.
Denny Siregar menyatakan agar media arus utama mau “menurunkan harga dirinya” dan duduk bersama dengan influencer sebagaimana armada taksi Blue Bird yang akhirnya harus kerjasama dengan aplikasi online.
Dalam diskusi dengan tema yang berkaitan di Kandang ayam Rawa Mangun dua hari lalu, para jurnalis kawakan menyatakan, jurnalisme indonesia kini ketinggalan dan merosot mutunya.
Jika membandingkan era 1980-90an dan masa kini kualitas jurnalisme di media arus utama di media Indonesia cenderung merosot karena lebih banyak mengejar jumlah berita, ketimbang mutu dan kedalamannya, sementara akurasi fakta yang terungkap kalangan aktifis media sosial influencer dan buzzer, justru makin meningkat.
Laporan utama dan foto foto cover ‘Tempo’ beberapa bulan terakhir, sebagai misal, cenderung menyerang dan konfontatif, juga berita dari BBCIndonesia yang terbaru, merupakan contoh kemerosotan jurnalisme itu.
Dulu, sebelum reformasi, laporan laporan mingguan ‘Tempo’ memiliki kedalaman dan ditunggu pembacanya karena rinci dan investigatif. Kini Jendral Gatot Nurmantyo berbini empat langsung terungkap hanya dalam waktu hitungan jam, di media sosial setelah mendeklarasikan KAMI dengan “gerakan moral”nya.
Skandal terbaru, di laman twitter, @tempodotco menyampaikan permohonan maaf karena menurunkan artikel perihal Freeport yang ternyata merupakan “artikel sponsor”.
Permintaan maaf itu malah menjadi bulan bulanan para twiterland alias warga twitter. “Kalo Tempo bisa jadi buzzer kenapa oranglain pihak lain jadi buzzer dianggap nista oleh Tempo?” tanya sylvi@evhia.
“Karena nambahin saingan dalam mencari sponsor. Munafik emang, “ jawab arnata tanjung@arnata.
Sejak September lalu Tempo menurunkan opini yang ditulis maupun menggunakan narasumber luar yang menyerang buzzer. Namun, sepeti kata netizen, “karma nggak pakai lama”, Tempo sendiri kemudian menampilkan artikel sponsor yang bernuansa buzzer.
“Tempo tempo buzzer, Tempo tempo sponsor, yang punya media mah bebas, “ ledek akun Bang Ade@ayaheh_shezha. **
Sumber : Status Facebook Supriyanto Martosuwito
Comment