by

Pentingnya Melek Politik, Afi!

 
 
Negeri ini kemudian disibukkan pertarungan-pertarungan politik kekuasaan. Isu-isu yang menyertai Habibie, Gus Dur, Megawati, berada dalam bandul antara nasionalisme dan agamaisme. PDIP menang dalam Pemilu 1999, tapi harus tersingkir dan tersandera isu politik identitas yang dimainkan (lagi-lagi) Amien Rais, dengan Poros Tengah, sebagai jalan politik dalam menggusur Megawati. Gus Dur adalah ikon strategis waktu itu.
 
Dua periode SBY, semuanya tampak adem ayem, kecuali korupsi yang marak. Pemerintah periode ini, tak punya sumbangan banyak bagi proses identitas pasca Orba. Pertarungan politik kembali menggeliat, justeru ketika Jokowi, si anak bajang itu, muncul tanpa diduga. Mengalahkan jagoan andalan Prabowo Subianto (yang oleh Linda Christanti kini dicobasodorkan dengan cara pembacaan berbeda, sebagai) manusia hebat dalam sejarah Indonesia.
 
Ahok hanyalah loophole, di mana politik identitas menemukan jalan tol, dengan politik Eep Syaifullah Fatah sebagai master-mindnya. Agamaisme menemukan jalan dalam politik identitas ini, menunjukkan persistensinya. Tersungkurnya Ahok, “hanyalah” akibat yang wajar. Dan kini, kapitalisasi atas kemenangan agamaisme ini terus digelembungkan. Sampai kemudian kita berkenalan istilah persekusi. 
 
Ahok sebagai keywords terus beroperasi sampai ke mana-mana. Muncul cyber-army mendata siapa saja penghina ulama. Ulama? Tentu saja itu hanya alasan, karena dibalik itu adalah memburu  Ahoker (yang sesungguhnya adalah Jokower). Ini penting untuk pemetaan politik 2019. Di sini mengapa Jokowi tampak sendirian, dan sunyi, dengan pembangunan infrastrukturnya, karena dari track berbeda ada yang juga intens membangun insfrastruktur, bagi jalan politiknya. 
 
Lantas mengapa Afi masuk sebagai ikon proxy-war? Karena usai dipenjarakannya Ahok, selesai sudah “sichinakafir” itu. Ia yang dengan segala reputasinya, menjadi ikon baru dalam kepolitikan kita, tamat sudah. Amien Rais yang mengatakan berbahaya jika Ahok menjadi Mendagri, Menkopolhukam (bahkan presiden), tentu bahagia akan hal ini, meski tidak untuk persoalan Rp 600 jutanya.
 
Afi Nihaya Faradisa, sadar tidak sadar, dipakai oleh kelompok yang tak nyaman dengan maraknya (kapitalisasi) politik identitas, yang digerakkan serentak ke seluruh penjuru Nusantara, paska dikalahkannya Ahok. Tulisan-tulisan Afi yang murni sebagai anak jamannya (yang didewasakan oleh keberagaman lingkungan dan bacaannya), seolah tampak strategis untuk melawan isu agamaisme. Tetapi Afi bukan Ahok. Ia remaja inosen, dan buta politik. Ia tak setangguh Ahok. 
 
Sedang Ahok yang tangguh saja bisa ditumbangkan, memilih Afi sebagai ikon counter-ideology bagi kelompok Ahoker-Jokower, tidak strategis. Di jaman post-truth pada era medsos-berjaya ini, sedikit gorengan plagiarisme telah menghentikan pengafian ini. Afi sebagai ikon telah tumbang dalam waktu pendek. Afi menjadi bagian dari korban yang disebut sebagai persekusi, sekaligus korban eksploitasi kepentingan politik identitas bagi kedua belah pihak.  
 
Kita selalu gagal merespons marwah bangsa dan negara ini jauh ke depan. Terjebak dalam aksi-reaksi, di mana para aktifis (demokrasi, hukum dan HAM), juga para cendekiawan kampus, pun lebih banyak terlibat dalam percakapan-percakapan pendek semacam itu. Betapa 67 tahun kemerdekaan, dengan segala potensinya, yang didapati justeru berbagai nilai index-prestasi yang hancur-hancuran dibanding negara-negara lain.
 
Kita mempunyai alat persatuan yang ampuh bernama Pancasila, tetapi kita tidak merawatnya sejak 1965. Kita dibutakan dengan permasalahn hari-hari ini. Dan tak pernah mampu melihat fajar menyingsing pada 20, 30, 50, 100 tahun yang akan datang. Kita bahkan gagal menjalin pesatuan, apalagi bergotong-royong, bahu-membahu. Jokowi disibukkan, atau dijebak dalam persoalan infrastruktur yang diabaikan, bersibuk dengan hardware, dan mengenyampingkan software. Dimana pembangunan Nawa Cita dan Revolusi Mental? Mengundang Afi ke Istana sebagai tamu-negara, itu tak bisa dimengerti, ketika kita melihat ada oknum polisi yang justeru ikut mengintimidasi warga atas isu membully ulama!
 
Adakah yang sudi membantu Indonesia keluar dari lingkatan iblis, silang-sengkarut, yang hanya sibuk soal agamaisme-nasionalisme, kiri-kanan, bumi datar-bumi bulat bunder, Prabowo-Jokowi? Tenggelam dalam diksi kemarahan dengan isu-isu yang makin marak seperti idiom-idiom jadul komunis, PKI,  agamaisme, kafir, nasionalisme, merah putih, harga mati?
 
Meleklah politik. Mengerti politik tak mesti masuk partai politik. Politik bukan sekedar soal permainan kekuasaan. Kesadaran politik, juga menyangkut hak-hak kita sebagai warga negara, masyarakat sipil, rakyat yang sadar, berdaya, tak gampang ditipu para elite politik, yang manis di depan kemudian habis manis sepah dibuang. 
 
Rakyat yang berdaya sesungguhnya dimungkinkan, dengan masing-masing menggenggam gadget. Ada 100 juta lebih gadget di genggaman orang Indonesia. Tapi kalau gadget justeru alat lain yang membuat kita makin a-politis, makin cuek, makin bodoh? Itu hanya akan memberi jalan mulus, bagi mereka yang sedikit tahu teknologi dalam proxy war ini, dengan segala agendanya. 
 
Bagaimana mungkin negara bisa membiarkan anak-anak kecil, atau ibu-ibu, didatangi, diteror, ditampar, oleh sekelompok orang yang menamakan diri pembela ulama atau agama? Ulama dan agama macam apa? 
 
Ini bukan hanya soal Afi, apalagi soal plagiarisme. Ngerti apa kita tentang istilah plagiarisme, di fesbuk pula, dengan tingkat literasi nomor dua dari bawah di dunia ini? Dengan kemiskinan dan kebodohan yang tetap dibiarkan latent, terasa sok banget deh! Bacalah atas nama tuhanmu!
 
(Sumber: Facebook Sunardian W)

Comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

News Feed