by

Penolakan Yeni, Signal Prabowo Tak Layak Capres?

Ketiga, Salah pilih di Jakarta. Paska terpilihnya Anies – Sandi di Jakarta bukannya menguntungkan malah merugikan partai. Lihat saja sejak dilantik sampai saat ini polemik terus menerus terjadi. Mulai dari hal sepele administrative hingga hal-hal yang substansial yang jelas-jelas nir keadilan. Kita tahu soal salah kostum, penghapusan video rapat gubernur, kantor gubernur ditutup tirai, pengalihan pengaduan dari gubernur ke tingkat kelurahan. Lalu yang substansial seperti penggunaan jalan raya sebagai tempat jualan PKL, jumlah TUGPP mencapai 73 orang, menyela misa natal dan masih banyak yang lain tindakan atau keputusan yang janggal.
 
Bukan hanya itu, Taufik yang juga Gerindra DKI menyorot kebijakan Anies Sandi tentang berbagai hal. Bagaimana jika polemik terus tercipta hingga 2019? Bukankah menjadi beban berat partai yang mengusungnya? Keempat, meski paska Pilpres 2014 Gerindra nampak rukun dengan PAN serta PKS, yang jadi pertanyaan cukup pelik yakni calon yang diajukan pada Pilkada mengapa tidak mengusung dari kader teman koalisi? Ada cukup banyak kader PAN atau PKS seperti Anies Matta, Fachri Hamzah, Eko Patrio, Primus, Nasir Jamil, Abu Bakar Al Habsyi dan lain sebagainya. Di Pilkada 2018 serentak untuk Cagub malah mengajukan dari militer (Jabar dan Sumut), Mantan bupati Kutai Timur/PKPI (Isran Noor), serta Mantan Menteri ESDM (Sudirman Said).
 
Kemenangan pertarungan Pilpres 2019 menjadi pertaruhan terakhir Prabowo untuk kursi Presiden. Jika para kepala daerah yang diusung bukan dari kadernya sendiri bagaimana mereka mau bersusah payah berjuang di 2019? Dan kelima, penolakan Yenni Wahid atas tawaran untuk bertarung di Pilkada Jawa Timur makin menegaskan bahwa langkah-langkah Gerindra tidak turut menjaga bangsa serta memecah NU (Jawa Timur-pen). Simak pernyataan Yenni “Tawaran tersebut saya pertimbangkan dengan matang, tetapi kami keluarga Gus Dur meyakini punya tugas sejarah untuk menjaga bangsa ini dan memastikan keluarga NU (Nahdlatul Ulama) tidak pecah,”. 
 
Kita tidak akan bilang“saya sibuk mengatur lalu lintas” kepada seorang polisi, “saya tidak ada waktu karena sibuk mengambil sampah” kepada petugas sampah. Parpol salah satu tugasnya menjaga bangsa tetap utuh dan ketika disampaikan mbak Yennti jelas menandakan bahwa Gerindra tidak melakukannya, setidaknya berdasar Pilkada Jakarta yang penuh akrobat politik kotor.
 
Kalimat selanjutnya mbak Yenni adalah “Memastikan keluarga (NU) tidak pecah”, dimaksudkan bahwa sudah ada 2 cagub berlatar belakang NU di Jatim, mengapa masih mengusung orang NU lagi? Kalau bukan untuk memecah suara NU, lantas untuk apa? Untaian kalimat mbak Yenni semakin menguatkan dan menjadi landasan kita berpikir, jika tugas besar menjaga bangsa sudah tidak diusung Gerindra buat apa kita dukung? Jika tidak menjaga NU tetap utuh sebagai asset bangsa apakah masih layak didukung? Kita tunggu Agustus 2018 mendatang saat pendaftaran Calon Presiden, jika memang Prabowo Subianto masih berniat maju tentu kita tahu harus bagaimana.
 
Sumber : Ninohistiraludin.blogspot.com

Comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

News Feed