by

Penghakiman Ahok oleh Ratna Sarumpaet Yang Salah Arah

Oleh : Daniel H.T

Di artikel saya sebelum ini, saya menulis tentang acara Indonesia Lawyer Club (ILC) asuhan Karni Ilyas, TV One, edisi 8 Maret 2016, yang dengan tak hadirnya Ahok dan Teman Ahok, dijadikan ajang penghakiman oleh para lawan Ahok yang menguasai “arena” ILC itu, salah satunya yang paling menonjol, karena paling bersemangat menghakimi Ahok adalah Ratna Sarumpaet.

Ratna bahkan sudah tidak lagi menggunakan kata “diduga” atau “menduga”, tetapi secara langsung sudah menuding Ahok korupsi dalam kasus pembelian lahan Rumah Sakit Sumber Waras. “Saya yakin 99 persen, Ahok korupsi di Sumber Waras!” katanya.

Ratna menuding Ahok adalah seorang pemimpin yang tidak pernah pro-rakyat, tetapi semata-mata hanya pro-investor. Tidak ada satu pun proyek Ahok yang dibangun untuk rakyat, semuanya adalah demi investor. Seperti dalam kasus Kampung Pulo dan Kalijodo. “Tidak perduli rakyat mau jadi, apa, kek!” serunya dengan muka marah.

Padahal, kalau benar Ahok tak perduli terhadap rakyat yang kena penertiban atas tanah-tanah negara yang mereka tempati secara ilegal itu, tentu Ahok akan bersikap seperti gubernur-gubernur sebelumnya, asal main gusur, tanpa menyediakan rumah susun yang jauh lebih layak dan manusiawi bagi mereka.

Sedangkan lahan-lahan negara yang sudah kosong itu akan dijual kepada investor properti untuk mendirikan mall, hotel, apartemen, dan sebagainya. Hal yang lazim dilakukan oleh gubernur-gubernur sebelumnya. “Tidak semua orang suka sama Ahok!” seru Ratna Sarumpaet.

 Padahal anak Sekolah Dasar pun tahu, di dunia ini, manakah ada seorang pimpinan yang disukai semua orang?

Namun demikian, fakta berbicara, survei demi survei, semua menghasilkan bahwa elektabilitas Ahok selalu naik, berselisih jauh dengan para calon gubernur DKI lainnya.

Entah bagaimana jika survei juga memasukkan nama Ratna Sarumpaet bersaing dengan Ahok. Ratna Sarumpaet sendiri, pasti sadar, tidak semua orang suka dengan dia. Di media sosial, dari reaksi netizen terhadap pernyataan-pernyataanya itu, terlihat bahwa banyak netizen yang tidak suka dia.

Menuding Kompas?

Ratna mencontoh kasus penggusuran di Kampung Pulo dan Kali Jodo, sebagai contoh nyata tindakan represif Ahok terhadap rakyat kecil dengan menggunakan aparat kepolisian dan TNI.

Celakanya, katanya, media massa juga mendukung Ahok dengan menyebarkan berita-berita tak benar tentang kesuksesan Ahok. Termasuk, media beroplah terbesar di Indonesia, yang menulis penggusuran Kali Jodo berjalan lancar. Padahal, katanya, penggusuran itu dilakukan dengan menakut-nakuti rakyat, Ahok menggunakan aparat kepolisian dan tentara membuat rakyat takut.

Media beroplah terbesar yang mana yang dimaksud Ratna Sarumpaet? Dengan mudah kita bisa menebak, yang dimaksud Ratna tentunya koran Kompas, mungkin juga termasuk Kompas.com. Sampai saat ini, Kompas-lah merupakan media dengan oplah terbesar di Indonesia.

Tudingan Ratna kepada Kompas ini jelas salah arah, Kompas bisa menjadi koran terbesar dan terpercaya di Indonesia selama lebih dari setengah abad ini, salah satu penyebab utamanya adalah karena koran ini selalu selalu menjaga obyektifitas, dengan menyajikan berita secara berimbang, jernih dan obyektif, tanpa meninggalkan sisi kritisnya, yang dilakukan secara konsisten dan berkesinambungan sampai detik ini.

Dalam artinel-artikelnya yang berupa analisa dan evaluasi kinerja suatu instansi, pemerintah, baik pemerintah pusat, maupun pemerintah daerah, termasuk Pemprov DKI Jakarta yang kini dipimpin oleh Ahok pun, Kompas selalu melakukannya dengan obyektif dan kritis, berdasarkan hasil survei, data-data yang lengkap dan valid. Untuk itu Kompas mempunyai suatu lembaga khusus yang dinamakan “Lembaga Penelitian dan Pengembangan (Litbang) Kompas.”

Jadi, apa yang diberitakan dan dianalisis Kompas itu selalu berdasarkan fakta dan data-data yang valid. Jika memang kinerja Ahok termasuk bagus, kenapa harus dibilang buruk?

 Berita-berita dari koran Kompas/Kompas.com, seperti di bawah ini yang rupanya membuat Ratna meradang terhadap Kompas, karena berita dan analisa itu positif terhadap Ahok, misalnya:

– Satu Tahun Pemerintahan Basuki: Apresiasi di Tengah Kontroversi

– 15 Jam Ahok Pelototi Anggaran SKPD DKI

– Tak Ada Perlawanan di Kalijodo

– Setelah Dinormalisasi, Begini Situasi Kampung Pulo

– Sekarang Enggak Sampai Sehari Banjir Kampung Pulo Sudah Surut

– Kini Banjir di Kampung Pulo Tak Sehebat Dulu.

Entah apa yang membuat Ratna sedemikian sinis terhadap Kompas, yang dituding berpihak kepada Ahok?

Mungkinkah ia terpengaruh dengan informasi-informasi sesat yang penuh dengan kebencian dan SARA terhadap Ahok dan Kompas, seperti link yang berjudul: “Konspirasi Jahat Tokoh Protestan (Ahok) & Bos Katholik (Jakob) Meguasai DKI & RI” by @Benni_Hidayat.

“Hukum is Hukum” ala Ratna Sarumpaet Entah apa yang dimau oleh Ratna ini, ia tidak menyinggung soal penemuan sejumlah senjata tajam di Kalijodo, yang diduga kuat hendak digunakan oleh para preman di sana untuk melawan Satpol PP saat melakukan penggusuran. Untung saja beberapa hari sebelumnya, pasukan gabungan Satpol PP, Kepolisian dan TNI melakukan razia, dan ditemukan ratusan senjatatajam dalam berbagai bentuk itu.

Apakah maunya Ratna itu adalah warga harus melawan aparat untuk mempertahan mati-matian tanah negara yang mereka tempati secara ilegal itu? Nanti kalau terjadi bentrokan berdarah dengan aparat, pasti dia akan mengecam lagi Ahok, dituding macam-macam, seperti melanggar HAM.

Padahal, maksud dari pengerahan kekuatan penuh pasukan Satpol PP DKI Jakarta, Kepolisian RI, dan TNI itu justru dimaksud agar penertiban bisa berlangsung tertib, dan tidak ada yang berani melawan. Jika tidak puas, bisa melalui jalur hukum, dengan menggugat Pemprov DKI di Pengadilan Negeri.

Kenapa edukasi seperti ini, justru tidak pernah disampaikan orang-orang seperti Ratna Sarumpaet? Yang ada dari mereka adalah ujar-ujar kebencian dan provokasi kepada Ahok.

Apakah menurut Ratna, warga dari mana saja boleh saja menempati tanah negara secara ilegal seperti selamaini terjadi, boleh merusak lingkungan sampai menyebabkan banjir dan kemacetan dan berbagai dampak masalah sosial, ekonomi, dan hukum?

 Kalau memang itu prinsipnya, ayolah, kita tempati saja tanah-tanah negara yang ada di mana saja, nanti kalau pemerintah mau gusur kita, maka itu harus dilakukan dengan pembayaran ganti rugi. Kalau tidak terima ganti rugi, jangan mau digusur, nanti orang-orang seperti Ratna Sarumpaet ini pasti akan membela kita.

Ratna berkali-kali mengatakan demi penegakan hukum, demi hukum dia bicara, “hukum is hukum,” katanya, tetapi bagaimana dengan status tanah negara yang diserobot warga selama berpuluh tahun itu? Itu bukan masalah hukum yang harus ditegakkan? Ataukah, ini pengecualian, demi ada bahan atau pembenaran untuk menyerang Ahok?

Ratna berteriak, “Kita tidak dukung calon yang korupsi!” Seolah-olah Ahok sudah divonis korupsi.

Ratna berkata, dia punya bukti, dan yakin 99 persen Ahok korupsi di Sumber Waras. “Kalau (Ahok) tidak korupsi, kenapa tidak datang saja ke KPK?” Ia juga mendesak kepada para pendukung Ahok, kepada Teman Ahok, agar mau bicara langsung kepada Ahok, desak dia agar mau datang dan hadapi KPK.

“Saya kan bukan minta rakyat tidak percaya, maksud saya, para pendukungnya, kayak sahabat, atau teman, kalian kan anak muda, kalian harus jauh lebih kritis, kalian bisa bicara sama Ahok, dorong dia menghadap KPK!” seru Ratna berapi-api.

Padahal, dengan menuding Ahok korupsi, bukankah sama saja dengan dia mau bilang rakyat jangan percaya lagi kepada Ahok?

Padahal juga, selama ini KPK belum pernah memanggil Ahok sebagai apa pun, dan untuk kasus apapun, lalu kenapa Ahok harus datang ke KPK tanpa dipanggil? Masih sadarkah Ratna Sarumpaet ketika dengan penuh semangat dia bereru-seru demikian?

 Nasdem pun Diserang Karena Mendukung Ahok

Tidak cukup sampai di situ saja, Ratna pun menyerang Partai Nasdem yang telah menyatakan mendukung Ahok, meskipun Ahok sudah memutuskan ikut jalur independen. Rupanya, siapa saja yang mendukung Ahok, pasti akan diserang orang ini.

 Ratna menuding Nasdem mendukung Ahok, tanpa melakukan klarifikasi apapun, padahal kasus Sumber Waras, katanya, sudah tersebar di media, masa Nasdem tidak tahu.

Padahal dia sendiri bilang, tidak percaya dengan media karena banyak mendukung Ahok. Rupanya ia hanya mau percaya media, jika media itu memberitakan hal buruk tentang Ahok.

 Ratna juga berkata dengan mendukung Ahok, berarti pula Nasdem telah mendukung calon gubernur koruptor, padahal, KPK saja belum menyatakan ada tersangka apalagi sampai menetapkan Ahok yang tersangkanya, tetapi Ratna yang semakin lama semakin seperti orang kalap itu tidak mau tahu lagi apapunpenjelasan yang dikemukakan Nasdem. Ia bertingkah seolah-olah lebih tahu daripada Nasdem tentang Nasdem itu sendiri, dan lebih tahu daripada KPK dalam kasus Sumber Waras.

Ratna dengan berapi-apai menuding Nasdem tanpa melakukan klarifikasi kepada KPK, sebelum menyatakan dukungannya kepada Ahok, sebaliknya, apakah dia sudah melakukan klarifikasi kepada KPK, sampai sedemikian berani menyatakan yakin Ahok korupsi di Sumber Waras?

 Daripada terus mendesak Ahok datang ke KPK, padahal KPK belum memanggil Ahok, kenapa bukan dia saja yang ke KPK untuk menyerahkan alat-alat bukti yang katanya telah membuat dia yakin 99 persen Ahok korupsi di Sumber Waras?

Ratna Sakit?

Ketua Fraksi Partai NasDem DPRD DKI, Bestari Barus yang hadir di acara ILC itu menjelaskan kepada Ratna bahwa Nasdem tidak begitu saja menyatakan dukungan kepada Ahok, sebelumnya, mereka juga sudah melakukan klarifikasi dari berbagai sumber, juga dengan pertimbangan sampai sekarang KPK belum menemukan adanya unsur korupsi di Sumber Waras, maka itu Nasdem memutuskan untuk mendukung Ahok, akan membantu Teman Ahok mengumpulkan satu juta KTP tanda dukungan kepada Ahok dan Heru Budi Hartono. Soal, jika nanti terjadi perubahan situasi dan kodnisinya, maka Nasdem pasti akan mengambil sikap.

Penjelasan itu tetap tidak diterima Ratna. Bahkan dengan berapi-api dia malah menuding ada kekuasaan besar, yang membuat Ahok selalu saja lolos dari incaran KPK. Seolah-olah ia tahu selama ini KPK selalu mengincar Ahok, tetapi dia selalu lolos.

“Ini orang dilindungi oleh kekuasaan yang saya tidak tahu entah dari mana? Membuat ia terus bisa lari dari KPK! Itu persoalan bagi saya!” kata Ratna.

Jelas ini sudah merupakan suatu pernyataan mempolitisasi kasus Sumber Waras. Tetapi, tanpa introspeksi diri, dia malah bilang kepada Bestari Barus agar jangan mempolitisasi kasus hukum Ahok itu. Ia bahkan bilang, aparat hukum itu bisa dibeli (karena belum juga menindak Ahok).

Ketika Bestari berkata terkait kasus Sumber Waras dan Ahok bahwa “Kita percaya kepada aparat hukum kita, biarlah aparat hukum …”

Ratna langsung memotong, “Aparat hukum yang mana?”

Jawab Bestari, “Yang ada di Indonesia ini lah, kalau …kita tidak percaya juga itu bagaimana?”

 Langsung disargah Ratna, “Kita ‘kan tau juga, aparat hukum bisa main, bagaimana, sih!? Kalau kita bicara hukum, janganlah dipolitisasilah. Hukum is hukum!”

Bestari dengan tenang berkata, “Kalau dikatakan aparat hukum bisa main, kalau dikatakan semua bangsa ini kita curigai, institusi negara ini kita curigai, kita yang sakit nantinya!”

Dan kayaknya, Ratna sudah sakit, saking bencinya dia terhadap Ahok. *****

Sumber tulisan : Kompasiana.com

Sumber foto : namakkudn.wordpress.com

 

Comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

News Feed