by

Pengajian Ustadz Abdul Shomad

Pertama sekali tahun 1999. Penyambutan Yusril Ihza Mahendra, salah seorang “bintang reformasi”. Suasana kebathinan dan jiwa zaman wkatu itu, membuat kedatangan Yusril bak seorang megabintang. Sejatinya, Yusril hanyalah seorang akademisi yang sedang bermetamorfosis menjadi seorang politisi. Ia gagah. Pintar. Figur yang diidentikkan dengan reformasi. Materi orasinya sudah sering kami dengar. Baik melalui TV, koran, majalah maupun materi di kelas. Tapi bagi kami, tak penting materi orasinya. Kami tak memandangnya lagi sebagai seorang akademisi dan politisi. Kehadirannya itu yang lebih utama. Menikmati daya tariknya. Kehadirannya diibaratkan sebagai seorang yang dirindukan. Kehadiran yang diharapkan. Dinanti-nantikan. Berbaris berjejer orang menyambut kedatangannya. Dielu-elukan. Pada waktu saya berfikir, “beruntung nian putra Belitung ini !”.

Kemudian yang kedua, ya …. kehadiran UAS di kampus kami tersebut. Di tengah rinai hujan, antusiasme tersebut terlihat nyata. Sejak beberapa hari yang lalu, berita kehadiran UAS menjadi “hot topic” di kampus Lubuk Lintah. Diperbincangkan di kelas, di cafetaria bahkan di kedai-kedai di sekitar kampus. Tak kecil kemungkinan juga disebut dibilang di tempat-tempat lain di Kota Padang. Puncaknya, hari ini.

Berbinar mata banyak orang menyambut kehadiran UAS. Ia dielu-elukan. Sejak pagi hingga saya menulis catatan ini, praktis perkuliahan di kampus kami “mati suri”. Hampir semua orang (civitas akademika) terfokus ke Gedung Serba Guna. Tempat UAS memberikan ceramah/orasi ilmiah. Di luar gedung penuh. Apatah lagi di dalam gedung. Saya mencoba masuk ke dalam, tak lama. Seperti tak ada ruang untuk menyelipkan badan. Bergencet.

Pada seorang mahasiswa saya bertanya, “tidakkah kalian kuliah di jam ini ?”.

Ia menjawab, “kuliah pak. Tapi ini jauh lebih penting !”.

Saya lanjut bertanya, “dengan suasana ruangan yang sesak ini, bisakah kalian konsentrasi mendengar ceramah UAS?”.

Ia kembali menjawab, “tak penting bagi kami materi ceramahnya. Di kelas kuliah pernah juga kita dapatkan. Kami hanya ingin melihat UAS secara langsung. Kami yakin, Bapak juga melakukan hal ini, berhimpit-himpitan dan berdempetan di dalam ruangan ini, juga sama dengan alasan yang kami lakukan !”.

Tak lama, saya keluar dari kerumunan. Pergi menyudut. Saya pendek. Di depan, mahasiswa yang tinggi-tinggi badannya banyak menghalani pandangan saya. Biarlah nanti, melalui youtube, saya tonton kembali ceramah yang disampaikan UAS tersebut. Bagi saya, kehadiran sebentar dalam ruangan tersebut, cukup untuk merasakan secara empatik – emik, daya tarik seorang UAS, sebagaiamana yang juga dirasakan dosen dan mahasiswa yang lainnya.

“Apakah Bapak menyukai UAS ?”.

Saya sangat-sangat menyukai materi ceramah UAS. Beliau termasuk salah satu idola saya. Kagum dengan kemampuan keilmuannya di bidang hadits. Di berbagai kesempatan, saya akan ngetem di depan laptop (youtube) untuk menonton ceramah-ceramah beliau. Menambah ilmu saya. Sebagian besar saya sangat sepakat dengan isi ceramahnya. Hanya sebagian kecil sekali saya tak sesuai. Sebagaimana juga halnya dengan ceramah Prof. Qureish Shihab, Komaruddin Hidayat dan Cak Nun (Emha Ainun Nadjib) bahkan Ulil Abshar Abdalla dan Gus Mus. Karena itu, saya tak ingin ikut-ikutan memojokkan beliau, pun tak mau membabi buta memuji julangnya. Tapi ia manusia. Selagi pendapat itu datang dari manusia, kecuali Baginda Nabi Muhammad SAW., maka kita berhak bersetuju atau tidak dengan pendapat mereka. Selagi namanya manusia, tak ada pendapat mereka yang seluruhnya benar, tak ada pula seluruhnya salah. Yang seluruhnya salah itu adalah ketika kita membabi buta membenci seseorang karena (diindikasikan) berbeda pilihan politik. Bak kata pepatah Belanda, “ketika tak suka dengan seorang bayi, air mandinya pun kamu anggap nista !”. 
UAS adalah asset orang Islam Indonesia. Asset bangsa kita.

Ambil yang baik dari ceramah-ceramahnya. Saya yakin, itu teramat banyak.

Silahkan tak bersetuju dengan ceramah-ceramahnya, saya yakin itu teramat sedikit.

Namun yang pasti, kehadiran UAS hari ini di kampus kami menunjukkan suatu hal :

Terlepas suka atau tidak dengan komparasinya, ia ibarat Jokowi. Datang dari “rakyat kebanyakan”, bukan “berdarah biru”, tapi ia mampu menjadi magnitude dalam bidang politik. UAS bukan “berdarah biru ulama”. Namun siapa yang bisa membantah bahwa beliau sangat berpengaruh hari ini. Yakinlah, itu bukan datang tiba-tiba. Disamping takdir, juga karena kemampuannya. Ikhtiarnya.

SELAMAT DATANG UAS 
Kami bertepuk tangan untuk anda
Terima kasih atas ceramahnya. 
Bertambah ilmu kami.

 

(Sumber: Facebook M Ilham Fadli)

Comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

News Feed