by

Pendidikan Radikal

Jawaban Yesus di atas menurut teologi penulis Injil Lukas Yesus membuat pembedaan yang tegas: ada dua dunia. Pertama, dunia ini, orang memang kawin dan dikawinkan. Kedua, dunia yang lain itu, dunia orang-orang yang dibangkitkan tidak begitu. Sesudah kebangkitan manusia tidak lagi kawin dan dikawinkan, karena sudah tidak paut lagi. Tidak paut, karena tidak dapat mati lagi. Perkawinan menurut Levirat ialah mencegah kepunahan. Manusia pada hari kebangkitan sama dengan malaikat: tidak dapat mati lagi.

Meski berangkat dari latar dan prapaham yang berbeda, penulis Injil Markus, Lukas, dan Matius menyampaikan hal yang sama bahwa sesudah kebangkitan kawin-mengawin-dikawinkan tidak paut lagi, karena manusia tidak mati lagi. Tidak ada penyediaan bidadari untuk memenuhi kebutuhan seksual laki-laki. Apabila kita melanjutkan membaca ayat berikutnya (ay. 39), beberapa ahli taurat berpendapat, “Guru, jawab-Mu itu tepat sekali.”

Di sini kembali Yesus mengajarkan bagaimana berpikir radikal, yang hendak menjernihkan realitas lewat pemahaman akar realitas itu sendiri. Yesus tidak terjebak siapa laki-laki yang akan dihutung menjadi suami perempuan. Untuk menjawab pertanyaan itu Yesus berpikir radikal, yang tidak akan pernah terpaku pada fenomena suatu entitas tertentu. Ia akan mengobarkan hasrat-Nya untuk menemukan akar (radix) seluruh realitas. Apabila akar realitas itu ditemukan, maka segala sesuatu yang bertumbuh di atas akar itu akan dapat dipahami.

Saya tertarik apa yang disampaikan oleh Mendikbud Nadiem Makarim di hadapan Komisi X DPR pada Kamis lalu. Nadiem menyindir masyarakat yang saat ini hidup di era digital. Mereka mengira mentang-mentang Nadiem adalah pengusaha besar bisnis digital kemudian bidang pengajaran dibuat aplikasi digital. Sehebat-hebatnya teknologi, kata Nadiem, ia tidak bisa mengganti nasabah murid dan guru, nasabah batin. Nasabah murid dan guru yang terbaik itu bukan seberapa banyak informasi yang dia tahu, tapi yang punya nasabah batin terkuat. “Dari situlah timbul rasa percaya, baru itu anak bisa belajar.” kata Nadiem.

Hal itu senada dengan empu pendidikan J. Drost (1988). Guru menolong apa yang tidak dapat dilakukan oleh orangtua, yaitu pengajaran. Untuk mengajar guru memasukkan unsur pendidikan agar anak merasa aman dan nyaman dalam belajar. Mengajar-belajar, bukan belajar-mengajar.

Dalam pada itu empu pendidikan orang dewasa Andar Ismail (1990) mengatakan bahwa kita jangan jatuh pada pandangan sauvinistik, pandangan sempit yang menganggap bahwa budaya kita lebih luhur daripada budaya pendidikan di belahan dunia lain, atau budaya kontemporer lebih baik daripada budaya pendidikan purba. Orang kerap terjebak dalam anggapan bahwa suatu pemikiran yang baru pastilah paut dibandingkan dengan pemikiran dari abad-abad sebelumnya yang dianggap usang. Rendah atau luhurnya suatu kebudayaan bergantung pada rendah atau luhurnya pandangan kebudayaan yang bersangkutan terhadap pendidikan.

Nadiem Makarim sudah memeragakan bagaimana berpikir radikal. Ia tidak terjebak oleh romantisme budaya digital, tetapi melihat dan menemukan akar realitas untuk memahami sistem pendidikan yang tumbuh di atas akar realitas itu. Seperti Yesus yang mengatakan bahwa hidup sesudah kematian bukan soal kawin-dikawinkan, demikian juga Nadiem yang menolak tujuan pendidikan untuk membuat pemuda pintar dan mendapat pekerjaan, melainkan menjadikan pemuda harus bisa berpikir secara independen, berpikir secara kritis, dan mampu memertanyakan informasi yang diterima.

Quote of the day:
“Never try to teach a pig to sing. It wastes your time and annoys the pig.”

يباركك الرب ويحرسك.
يضيء الرب بوجهه عليك ويرحمك.
يرفع الرب وجهه عليك ويمنحك سلاما.

Wassalam,

Sumber : Status Facebook Efron Bayern

Comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

News Feed