by

Pena, Politik dan Kematian

Ketika mengajar di kelas, saya lebih suka pakai papan tulis dan spidol. Membuat bagan, peta dan tak terkecuali menulis aksara Arab/ayat Alquran. Sebenarnya bikin juga power point, tapi jarang saya tampilkan kalau tak terpaksa. Misalnya, menampilkan data gambar dan audio. Saya sering berkelakar di depan mahasiswa, jangan2 saya banyak bikin point2 tapi tak ada powernya. Apalagi kalau listrik mati. Hehehe.

Kembali soal pena. Di era teknologi digital, perangkat smartphone, laptop, netbook, dan semacamnya, telah membantu kita dalam menyelesaikan banyak hal, termasuk menulis. Di era tahun 70-an anak2 sekolah masih memakai sabak dan kertas merang untuk mencatat hal penting dan pelajaran di kelas. Dua puluh tahun kemudian, dengan peralatan yang didukung teknologi listrik telah mengubah tradisi dan perilaku. Kecepatan, karena cukup menekan tombol yang sama di bidang persegi empat bernama laptop, ternyata pelan-pelan telah mematikan keprigelan jari2 tangan kita untuk melahirkan guratan2 yang indah.

Tanpa sadar, kita dikendalikan dengan cara yang serba instan dan serba tiba-tiba. Kesabaran, ketelitian, kewaspadaan, pengaturan ruang, dan keakuratan, pelan2 mulai luntur. Kesadaran yang terbangun adalah serba instans dan serba tiba-tiba.

Selain itu, kita juga akan semakin jauh dari filosofi aksara yang kita gurat. Tak lagi menyadari, misalnya, bahwa huruf alif adalah simbol konsistensi, keteguhan bertauhid, dan kelurusan iman. Huruf ba’ adalah kesadaran untuk menjadi penampang, pemangku, atau perahu bagi siapa saja yang ingin kembali pada Yang Maha Sejati.

Nah, politik dan politisi kita tampaknya juga sudah mulai jauh dari makna pena yang saya kisahkan tadi. Kita dibesarkan dalam moralitas politik yang serba tiba-tiba: tiba-tiba murah senyum, tiba-tiba silaturahmi, tiba-tiba puja puji, berceramah di kampus, tempat ibadah, dan di kampung kumuh. Juga tiba-tiba sakit. Tiba-tiba lupa.

Pun juga, tiba-tiba ada yang kritis, tiba-tiba garang, padahal tanggung jawabnya sendiri tak ditunaikan dengan baik, hanya karena ingin menaikkan tokoh dukungan dan menurunkan citra lawan.

Bahkan, tiba-tiba ada penyerangan dan caci maki pada tokoh agama. Mirip seperti kisah kerbau Danu.

Hidup itu ibarat pena. Keindahan aksara kehidupan yang lahir dari guratan dan tetesan tinta, ditentukan olah batin dan olah rasa yang menggerakkannya. Sayangnya, politisi kita lebih suka mengajari kita soal batang pena ketimbang keabadian yang dihasilkannya.

Andai saja, gayahnya adalah bukan kekuasaan dan berkuasa belaka, tapi pelayanan yang dihasilkan dan diberikan, sungguh, seperti kewafatan Ibu Nyai Hj. Nasi’ah, berduyun-duyun orang datang, tanpa perlu undangan, apalagi recehan. Sayangnya, masyarakat kita mudah dijangkiti virus LUPA dan politik tak lebih sebagai pesta hasrat berkuasa.

Sumber : Status Facebook Islah Gusmian

Comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

News Feed