by

Pelajaran Dari Teror Sri Lanka

Terlepas dari siapa dan pihak mana yang berada dibalik serangan terror Sri Lanka, banyak pakar melihat bahwa kalau melihat taktik yang digunakan bisa diketahui kalau itu terinspirasi ISIS. Taktik yang dimaksud adalah bom bunuh diri yang secara eksplisit menyasar kalangan sipil, yang didesain untuk menciptakan terror maksimum untuk efek yang maksimum juga, seperti bom Manchester arena dan serangan London Bridge. Taktik serangan terror Sri Lanka juga memilih lokasi ikonik yang banyak terdapat kerumunan massa terutama para turis asing. ISIS yang tahun belakangan kehilangan teritorinya di Syiria juga secara jelas menggunakan taktik menyerang orang-orang Kristen pada saat hari raya terutama hari raya Natal dan Paskah.

Kepolisian di Sri Lanka mengakui bahwa berkurangnya terror grup di Timur tengah seperti ISIS tidak berarti kegiatan terror mereka akan berhenti. Sekarang ISIS menggunakan strategi “Pop-Up” yang melibatkan grup-grup yang berbaiat dengan ISIS untuk melakukan penyerangan di negara asal mereka. ISIS dikenal sebagai kelompok teroris dengan cabangnya yang banyak baik di Asia tenggara, Afrika dan bahkan Eropa. Ratusan ekstrimis Muslim Sri Lanka pada kurun 2014-2018 juga banyak yang pergi ke Iraq dan Syiria untuk bergabung dengan ISIS. Kini setelah ISIS terdesak dan kehilangan banyak teritori yang dikuasainya, banyak ekstremis ISIS Sri Lanka yang pulang kampung. Kepolisian merilis sekitar 50 ISIS returnees yang profil mereka umumnya justru orang-orang terdidik dan dari keluarga elit.

Perang Saudara Dan Pelajaran Untuk Kita

Sebelum pengeboman kemarin, Sri Lanka sendiri punya pengalaman kelam karena adanya perang saudara. Pengeboman minggu kemarin menganggu keamanan dan kenyamana warga Sri Lanka dalam satu decade terakhir setelah berakhirnya perang saudara, ketika Sri Lanka melawan pemberontak Tamil. Pasukan Sri Lanka pada tahun 2009 berhasil mengalahkan pemberontak Tamil pada tahun 2009. Perang saudara yang berlangsung sekitar 26 tahun terjadi karena pemberontak Tamil ingin memiliki negara sendiri untuk minoritas Tamil. Menurut laporan PBB (Perserikatan Bangsa-Bangsa) ada sekitar 150 ribu orang yang tewas dalam perang saudara tersebut.

Sebenarnya secara historis, Sri Lanka yang mayoritas warganya beragama Buddha tidak memiliki riwayat persekusi terhadap minoritas Kristen yang hanya sekitar 7 persen dari populasi penduduk Sri Lanka. Justru perkembangan relasi social, mayoritas umat Buddha Sri Lanka lebih bermasalah dengan umat Hindu dan Muslim. Dalam beberapa tahun belakangan seiring meningkatnya jumlah penduduk Muslim menjadi lebih dari 10 persen, hubungan social mereka juga agak memburuk. Tahun 1990 beberapa penduduk Muslim terutama di Bagian utara Sri Lanka mengalami persekusi dan pengusiran dari rumah-rumah mereka dan setelahnya menjadi warga tak menentu di bagian Selatan Sri Lanka. Inilah mengapa perang saudara baik pemerintah Sri Lanka dan Ethnis Tamil serta hubungan antar umat beragama Buddha, Hindu dan Islam serta Kristen di Sri Lanka yang tidak membaik yang memicu perang saudara berlangsung terus hamir 3 dekade.

Bom Sri Lanka dan perang saudara yang terjadi di sana memberi pelajaran pada kita semua di Indonesia, sekurang-kurangnya 2 hal. Pertama, kekerasan apalagi terori dan bom bunuh diri atas nama apapun tidak bisa ditolerir. Ia melanggar prinsip mendasar dalam hak asasi manusia karena sangat keji dan tidak berperikemanusiaan. Perang melawan terror harus menjadi konsern bersama. Tidak hanya aparat kepolisian tetapi masyarakat juga harus berkontribusi. Pencegahan dan antisipasi terjadinya kekerasan dan terror merupakan langkah terbaik untuk memastika bahwa masyarakat dimana kita tinggal memiliki resiliensi atau ketahanan yang bagus terhadap semua bentuk potensi kekerasan dan terorisme. Itu yang harus selalu diupayakan di masyarakat kita. Kedua, perbedaan adalah rahmat seperti bunyi sebuah hadist, ada juga menyebutnya atsar. Tapi itu kalau kita bisa mengelola perbedaan secara baik, merawat sikap saling menghormati dan menyayangi antara sesame anggota masyarakat. Tapi perbedaan etnis ataupun agama ketika tidak bisa dikelola secara baik, justru akan menimbulkan kekacauan. Pengalaman Sri Lanka dengan perang etnis dan konflik antar agama menjadi cermin bagi kita betapa bahayanya ketika masyarakat terbelah dan terpecah, serta berkurangnya sikap saling menghormati dan menghargai satu sama lain.

Sekarang masyarakat Indonesia baru saja selesai pemilihan umum 2019. Keterbelahan dan keterpecahan menimpa masyarakat kita karena perbedaan dukungan capres-cawapres, partai politik dan calon legislative. Meskipun realitasnya adalah peristiwa politik, tapi isu-isu identitas seperti perbedaan etnis dan perbedaan agama juga ditonjolkan. Saya merasakan pasca pemilu ini keterbelahan dan keterpecahan masyarakat kita belum kunjung membaik. Semoga apa yang terjadi di Sri Lanka menyadarkan kita untuk segera berbenah, kembali ke khithoh kita semua untuk membentuk masyarakat yang aman, nyaman, damai, tentram dan harmoni, insyaAlloh.

Sumber : Status Facebook Suratno Mochoeri

Comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

News Feed