by

Pecinta Habaib

Sumpah, stok cerita keteladanan para habaib itu berlimpah. Sayang, yang populer malah yang tingkah lakunya aneh-aneh dan “menjengkelkan”. Jangan heran kalau ada yang bahkan alergi dengan istilah ini. Reputasi keilmuan dan akhlak para habaib tergambar dari cerita masa muda Habib Luthfi bin Ali bin Yahya. Beliau berguru bukan saja kepada sesama habaib, melainkan kepada para kiai-kiai di sekujur pulau Jawa. Yang luar biasa, foto-foto Habib Lutfi di masa muda memperlihatkan gestur seorang murid yang tunduk di hadapan mursyid. Silahkan cermati posisinya ketika berpose bersama Kiai Malik bin Ilyas Purwokerto, Kiai Utsman al-Ishaqy Sawahpulo Surabaya, Habib Soleh bin Muhsin al-Hamid Jember, Habib Ali bin Ahmad Alatas, Sayid Muhammad bin Alawy al-Maliki dan sebagainya. Belum lagi perjalanan beliau dalam menjelajahi para guru tarekat sehingga Habib Luthfi menjadi mursyid lebih dari 10 tarekat.

Saya suka yang beginian. Enak dibaca dan menginspirasi. Ada lagi? Banyak. Coba kita pelajari akhlak dan perjuangan Habib Idrus bin Salim al-Jufri (lahir Hadramaut, 1892, wafat di Palu, 1969), pendiri al-Khairaat di Palu, atau Habib Salim bin Ahmad bin Jindan (1906-1969), Jakarta, yang dijuluki kitab berjalan. Kakek Habib Jindan bin Novel ini selain masyhur dengan reputasi keilmuan dan keluhuran akhlaknya, juga dihormati banyak kalangan. Bahkan orang non-muslim pun hormat kepadanya. Juga riwayat keilmuan Habib Ali bin Abdurrahman al-Habsyi (1870-1968), Kwitang, habib yang sangat dihormati Bung Karno; dan gurunya, Habib Utsman bin Yahya (1822-1913), Mufti Batavia, yang menjadi jembatan pengetahuan masyarakat Betawi di zamannya melalui berbagai karya-karyanya.

Jadi, kalau saya diminta mencintai semua Sadat Alawiyyin tanpa terkecuali, tidak pandang bulu, dari yang berkarakter lembut hingga yang keras dan berpolah tingkah aneh-aneh, jujur saya belum bisa. Hati saya masih keras. Tahapannya masih berusaha. Itupun terengah-engah. Kalaupun diberi ancaman seperti “Nanti nggak bakal dapat syafaat Rasulullah” atau “Bisa kuwalat lho!”, atau “Rasulullah bakal marah melihat anak cucunya dihina.” dan ancaman-ancaman lain, level saya masih tertawa, belum bisa bergidik ngeri atau menangis. Sebab, sekali lagi, saya masih berusaha mencintai para dzurriyah Kanjeng Nabi dengan kerinduan dan kekaguman para pecinta, bukan ketakutan seorang budak yang diancam dengan doktrin.

Akhirnya, kita tidak boleh menghina dan merendahkan habaib karena di dalam darahnya mengalir darah Rasulullah, demikian pula habaib juga tidak boleh gampang merendahkan martabat sesama manusia karena di dalam dirinya sendiri mengalir darah Rasulullah. Imbang, kan!?

Demikian kata pengasuh Majelis Kalbun Salim, sohibul fadhilah wal markonah wal hasyafah Yaser Muhammad Arafat

Santai, tahap belajar mencintai, dan jangan memaksa orang mencintai (si)apa yang kita cintai…

Sumber : Status Facebook Rijal Mumazziq Z

Comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

News Feed