by

Partai Gerindra dan Plonga-Plongo ala Fadli Zon

Dulu, terutama di masa Susilo Bambang Yudhoyono, pemimpin kita hanya tahu meminjam uang ke luar negeri. Apa ujungnya? Sekadar untuk dibakar jadi subsidi yang konsumtif belaka.

Sekarang, di tangan Jokowi, mulai diupayakan bagaimana agar bukan orang-orang Jawa saja yang menikmati akses mudah, melainkan pula orang-orang di luar Jawa. Itu tampak dari pembangunan sejumlah infrastruktur besar-besaran, seperti tercantum dalam RPJMN 2015-2019, yakni pembangunan 2.650 km jalan, 3.258 km jalur kereta api, 15 bandara baru, pengembangan 24 pelabuhan, serta ketahanan energi melalui penyediaan 35.000 MW listrik, kilang minyak, dan layanan broadband di seluruh pelosok negeri.

Lagi pula, utang negara kita yang terkesan melonjak hari ini toh bukan semuanya bersumber dari masa Jokowi saja. Itu warisan menahun, turun-temurun, yang pelunasannya tidak bisa secepat kedipan mata.

Dan, utang luar negeri pun adalah satu dari sekian banyak bentuk investasi. Tak bisa kita melihatnya sebelah mata, melulu menilainya sebagai sesuatu yang buruk saja.

Benar bahwa jumlah utang kita bertambah banyak. Hanya ingat, itu semua karena investasi di era Jokowi memang sangat besar. Maka menjadi tidak adil jika efek positif ke depannya tidak kita tampilkan-serta, apalagi sampai membebankan seluruh nilai utang tersebut sebagai tanggung jawab Jokowi semata.

 

Eksistensi Partai Gerindra

Tak berselang lama setelah sang ketua Prabowo Subianto meledakkan emosi publik lantaran pidato politiknya yang berdasar novel fiktif, muncul kembali laku dari seorang kadernya, yakni Rachel Maryam, yang kurang lebih sama dalam hal berkreasi. Prabowo sebut Indonesia akan bubar di tahun 2030 berdasar novel fiktif, sementara Rachel kritik kebijakan impor barang lewat video parodi, lucu-lucuan, yang juga fiktif.

Ditambah dengan twit Fadli Zon, lengkaplah sudah bagaimana rapuhnya partai berlambang kepala Burung Garuda ini mengeksiskan diri. Bukan tidak mungkin, sebelum Indonesia bubar, jika prediksi itu memang mau benar, maka yang akan bubar terlebih dahulu adalah Partai Gerindra sendiri.

Sebenarnya saya tidak mau ambil pusing soal bagaimana eksistensi Partai Gerindra berjalan. Mau ia rusak kek, hancur kek, terserah. Hanya saja, partai pendukung pemerintah hari ini, bagaimanapun bagusnya mereka eksis, tetap butuh yang namanya oposisi. Yang belakangan ini setidaknya bisa mengontrol kalau-kalau roda kepengurusan negara cenderung mengarah ke “jalan sesat”.

Sebab itulah mengapa perlu perhatian serius juga kepada Partai Gerindra. Jika tak ada oposisi yang senantiasa siap-sedia melancarkan kritik, bukan hoax yang membangun melainkan saran yang konstruktif, maka bisa jadi pemerintah kita hari ini menjalankan kekuasaannya seenak dengkul. Tak ada oposisi, tak ada kekhawatiran, meski masih ada oposisi lainnya dan ada rakyat (yang independen) yang juga siap-sedia bertukar posisi dengan Gerindra.

Hemat kata, jika benar kita mengharapkan Indonesia bangkit dan jaya, sebagaimana harapan Fadli Zon dalam twitnya, maka bukan pemimpin seperti Vladimir Putin saja yang bangsa ini butuhkan. Bahwa Indonesia pun sangat butuh oposisi yang kredibel lagi konsisten.

Dua hal tersebut, saya rasa, mesti berjalan beriringan tanpa putus. Dengan kata lain, sembari memperbaiki diri orang lain, jangan lupa bahwa memperbaiki diri sendiri pun patut jadi perhatian, bahkan itu jauh lebih penting dari sekadar menyoal pihak-pihak di luar diri sendiri.

Jika ini mampu diindahkan Partai Gerindra, oleh pegiat-pegiatnya yang ngehek-nya bukan main itu, maka eksistensi partai ini ke depan sudah bisa kita tebak: bangkit dan berjaya, tak melulu jadi “oposisi abadi” di mana sang ketua pun, Prabowo Subianto, tidak akan terus-terusan jadi “capres gagal” lagi.

Sumber : qureta

Comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

News Feed