by

Para Jagal Di Masa Lalu

Oleh : Denny Siregar

Kemarin baru saja selesai simposium mengenang tragedi 1965.

Simposium ini diadakan pemerintah sebagai bentuk rekonsiliasi antara keluarga korban yang dibantai saat “pembersihan” partai komunis itu dengan elemen2 yang terlibat seperti NU. NU – dengan bansernya – pada tahun itu adalah salah satu aktor utama, dimana terjadi gesekan kuat dengan PKI dan diakhiri dengan pembantaian mereka yang terlibat partai komunis.

Entah berapa ratus ribu nyawa melayang waktu itu. Kita berada pada fase genosida terbesar dimana mayat seperti tumpukan karung beras, diatas truk sampah, disungai2, ditimbun di hutan2. Mungkin film tentang genosida di Rwanda bisa sedikit menggambarkan situasi itu. Beruntunglah kita yang tidak berada pada fase itu, karena kita juga mempunyai kemungkinan untuk menjadi korban.

Dalam simposium itu, wakil dari NU meminta maaf kepada keluarga korban, karena telah menyakiti hati mereka. Sebuah langkah maju dari NU, sesudah perdebatan seru di internal mereka sendiri perlu atau tidaknya meminta maaf kepada keluarga korban.

Kenapa ? Karena sebelum tragedi 30 September, kyai2, ustad2 NU banyak dibunuhi oleh PKI. Jadi ketika mendapat signal hijau dari pemerintah untuk memberantas org2 PKI, maka NU dengan bansernya berada di garda paling depan untuk meng-eksekusi mereka. NU sendiri memposisikan diri sebagai korban juga. Pada masa itu, membunuh atau di bunuh, adalah slogan yang mengerikan.

Saya pernah menonton film dokumenter berjudul The Act of Killing. Film yang judul Indonesianya “Jagal”, mengisahkan tentang perjalanan Anwar Congo, anak Medan, yang terkenal di Medan karena membantai ratusan simpatisan atau tertuduh PKI dengan tangannya.

Di film itu digambarkan, Anwar Congo dengan senang hati dan bangga mengisahkan bagaimana caranya ia meng-eksekusi. Dengan kawat, balok kayu, parang dan lain2. Sebuah prestasi baginya dan orang2 sekitarnya pada waktu itu, karena mereka merasa membela negara, dengan melakukan genosida. Semakin banyak mereka membunuh, semakin harum nama mereka.

Bahkan kerusuhan 1965 itu juga melebar ke kerusuhan etnis. Teman Anwar Congo mengisahkan, ia membantai calon mertuanya yang cina hanya karena tidak disetujui pacaran dgn anaknya. Tuduhan paling enak ya, “Dia PKI..” Stigma itu sudah cukup sebagai legalitas untuk membunuh.

Simposium yg baru diselenggarakan ini, adalah bagian dr kedewasaan bangsa ini dalam melihat kembali peristiwa 1965 dalam kacamata yang lebih bijak. Minta maaf bukan berarti kalah, justru itu adalah kemenangan terbesar seorang manusia dalam meruntuhkan ego-nya.

Di akhir film dokumenter The Act of Kiling, sutradara-nya pintar memainkan situasi. Ia memutar kembali proses2 pembunuhan yang dilakukan Anwar Congo dalam bentuk rekonstruksi. Anwar yang sudah kakek menonton bersama 2 orang cucunya.

Wajah tua Anwar Congo berubah. Ia terlihat sangat lelah dan muram. Semua kebanggaan dirinya sebagai jagal pada waktu masih muda, hilang sudah.

Ia menatap wajah sang sutradara yang bersamanya dlm waktu lama. Bibir tuanya bergetar, “Apakah aku salah, Joshua ? Apakah aku salah ?” Hantu masa lalu-nya membebani dirinya sekian lama. Wajah orang2 yg dibantainya selalu terbawa dalam mimpinya. Di balik semua kebanggaannya, Anwar Congo ternyata tersiksa dalam rasa bersalah yg besar.

Entah, bagaimana perasaan mereka2 yang dulu menjadi pembantai dengan alasan apapun, hidup dalam semua bayangan masa lalu itu.

Rasanya bercangkir2 kopi-pun tidak akan pernah mampu menenangkan jiwa mereka selamanya….** (ak)

Sumber tulisan : Facebook Denny Siregar

Comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

News Feed