by

Panjang dan Lebar dari Sudut Pandang Sempit Saya tentang KH Ma’ruf Amin

Nop.

Ahok itu sejenis jejadian yang serba seriusan, yang dia tau adalah angka dan data, hukum dan maklumat, garis tugas dan tupoksinya, sehingga saat dia langgar tupoksi malah nyeletukin Quran yang bukan keahliannya, Ahok memble sendiri dengan after effek setelah celetukan itu. Tidak ada dalam tupoksi Kemendagri apa yang dilakukan saat pejabat ngomong di luar koridor, yang berabenya menyinggung irisan terbesar warga republik ini.

Quran itu suci, sangat disucikan, dibela dengan darah dan nyawa oleh mayoritas WNI. Saat Ahok nyeletuk hal yang bukan bagiannya, bukan prodigalnya, ada yang marah lalu ingin menindak jauh, ada yang marah tapi ujungnya memaafkan. Kedua jenis ngamuk ini punya alasan masing-masing. Alasan-alasan di luar tupoksinya Ahok.

Marah lalu menindak Ahok, adalah untuk mencegah upaya eskalatif yang lebih mengerikan dari mereka yang mencintai Al Quran lalu terhina tujuh turunan.

Marah lalu memaafkan malah sudah masuk ke dalam upaya mencegah eskalasi.

Keduanya memiliki misi yang sama : MENYELAMATKAN INDONESIA. Oleh karena itulah NU terbelah dalam kasus Ahok, yang marah lalu menindak/mendisplinkan/membuat demarkasi/yurisprudensi yang bermanfaat bagi kasus serupa demi harmonisasi masyarakat seperti Kyai Ma’ruf Amin, dan yang marah lalu memaafkan/melupakan/ memaklumi seperti ketua tanfidz NU Kyai Said Agil Siradz.

Dalam perjalanan memproyeksikan energi marah ummat Islam ke dalam koridor hukum positif, Kyai Ma’ruf Amin telah melaksanakan tugasnya dengan baik, mencegah chaos agar tidak seperti di Pakistan yang membuat seorang pejabat terbunuh karena kasus yang sama.

Kyai Amin berhasil menutup sebagian katup/ruang yang bisa diekspoitasi kaum khilafer anti NKRI, karena isu Ahok adalah isu kelas platinum mereka untuk meraup lebih banyak pengikut di akar rumput.

Jika isu ini lepas dari kendali NU, tidak terbayang rasanya kelompok khilafer merekrut lebih banyak muslim bagai panen ikan di danau yang mendadak surut mengering.

Apakah hal itu ikut dipikirkan teman ahok? Birgaldo Sinaga dkk?

jika tidak, ya memang tidak perlu dipikirkan, wong ini sudah jadi kerepotan rutin NU sebelum Birgaldo atau Ahok lahir ke muka bumi. Jika pada akhirnya mereka masih tidak merasa ada yang salah di posisi mereka karena keterbatasan lingkup pemahaman pada orbit masing-masing dunia, itupun tidak masalah, tidak ada yang perlu di maafkan atau tidak dimaafkan. Dunianya wong modern yang kelas menengah beda jauh dengan wong tradisional kelas musola yang rebutan gelas bekas minum ustad.

TAPI

Jokowi tidak seperti jenengan Birgaldo dkk, tidak pernah menjadi Ahok tahu apa yang tengah terjadi, tahu apa yang harus di lakukan. Karena dia hidup bernafas dari cilik hingga di antar ke Istana Bogor di Aquariumnya NU; Sowan ke Kyai kampung, blusukan ke warga yang tiap magrib cium tangan para ustad adalah rutinitasnya.

Kalian tentu ga bakal paham, susah mengerti apa yang terjadi. Ya ga apa-apa. Jika lalu masih golput, merelakan Jokowi, yo wis gapapa, ini demokrasi. Yang bersudut pandang panjang, lebar, lemah, sempit, tipis, pendek, berhak punya suara.

Tidak perlu khawatir dengan NU, silahkan terus mencaci2 Kyai NU, dicaci sesama muslim, non muslim, do amat, yang penting fokus keselamatan bangsa dan negara.

Wallahu a’lam

 

Sumber : facebook Salman Faris

Comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

News Feed