by

Pandemi, Seharusnya Tentang Solider

Sebelumnya WFP telah memperingatkan bahwa pada 2020 akan menjadi tahun yang sulit bagi banyak negara yang dilanda oleh kemiskinan atau perang. Sebanyak 135 juta orang terancam menghadapi krisis kelaparan atau lebih buruk lagi.
Angka tersebut ditambah dengan 821 juta orang yang saat ini tengah dilanda kelaparan kronis, dapat mendorong lebih dari 1 miliar orang ke dalam situasi yang mengerikan.
Badan itu juga mengidentifikasi ada 55 negara yang paling berisiko terjerumus ke dalam kelaparan.
Dan, entah mengapa, saat duka melanda, covid justru datang dan menghujamkan taring marah keganasannya seolah tak kenal apa itu iba. Mereka yang lapar semakin rentan dan namun alam tidak peduli. Tuhan tidak pilih-pilih. Bukan tentang siapa dan agama apa, tak ada privilege apapun.
Di Afrika, bencana pangan tak dapat dicegah dengan munculnya wabah belalang dalam jumlah mengerikan.
Sementara India yang merupakan pengekspor utama beras, susu, dan kacang-kacangan di dunia, telah dilanda kekeringan dan banjir, erosi juga telah menggerogoti kesuburan 7,5 persen tanah pertanian di negara itu.
Kini, India menghadapi serangan hama wereng terburuk dalam 30 tahun, rantai pasokan pangan pun terganggu oleh pandemi.
“Bagaimana dengan kita?”
Melanda semua negara di dunia, resesi tak mungkin dapat kita cegah. Prediksi, jumlah penduduk miskin di Indonesia akibat pandemi ini akan bertambah 5 juta hingga 10 juta orang, sedangkan pengangguran akibat PHK akan bertambah 10 juta orang,
Pada kuartal II saja, kerugian ekonomi sudah mencapai Rp145 triliun dibandingkan periode yang sama tahun lalu.
“Trus apa tindakan pemerintah?”
Luar biasa bagi negeri bertuhan dengan urutan nomor 1 didunia, kita tak memiliki apa itu rasa syukur.
Entahlah..,anomali justru terjadi. Padahal tak semenitpun kita meninggalkan Tuhan. Selalu ayat dan dogma kita bicara dalam semua ruang yang ada dan kita miliki.
Tuhan yang dahulu kita kenal sebagai yang maha pengsih lagi maha penyayang, kini telah berubah wajah. Bunuh kafir, usir syiah hingga tindakan intoleran para penakluk alat negara itu seolah lebih bermakna dibanding kemanusiaan.
Sebenarnya, kita jauh lebih beruntung dibanding mereka yang perang dan lapar. Namun, kita tak senang dengan anugerah itu. Kita, atas nama agama, memilih ribut mulut dalam debat tak kenal apa itu usai.
Kita bertuhan, dan justru makin jauh dengan apa itu jujur. Sulit menemukan 1 orang jujur diantara 1000 orang.
Demikianlah, ketika resesi pasti datang, negara kesulitan mencari satu orang yang dianggap dapat dipercaya. Berapapun negara keluarkan dana, selalu korupsi menjadi momok mengerikan. Uang untuk rakyat terdampak, selalu tak utuh.
Belum lama, Presiden marah dan menegur para pembantunya. Uang ada banyak, penyaluran tak dapat dilakukan. Para pembantunya terjebak pada formalitas daripada esensi.
Ada yang takut salah sehingga KPK menjadi ancaman dan tak tahu harus bagaimana hingga perilaku korup.
Birokrasi korup telah lama menjadi bagian kita sehari hari. 100 juta dana yang turun, sampai pada masyarakat hanya tinggal 25 juta, bukan cerita baru. Selalu berulang dan korupsi menjadi budaya wajar berdampingan dengan ritual doa serta penampilan religius.
Dari tangan kanan terlihat memberi, tangan kiri menyimpan bungkusan lebih besar. Bahasa manis terdengar keluar dari mulutnya, rakus tak kenal apa itu kenyang, menelan apapun tak bersisa.
Rp 242 triliun dana BLT yang harus sampai pada 20 juta rakyat terdampak, adalah cara Presiden membuat ekonomi negara tumbuh sekaligus mencegah rakyatnya menderita.
Konsumsi domestik dimana selama ini menjadi poin penting dalam menjaga pertumbuhan ekonomi disatu sisi, namun disisi lain menjaga rakyat yang paling terdampak adalah cerita tentang politik dan kemanusiaan yang harus tetap dijaga.
Seharusnya, makan dan apa itu lapar tak boleh terkait dengan politik. Namun rakyat lapar dan sukur-sukur ada yang mati, seringkali justru menjadi rejeki bagi lawan politik.
Sadis? Ya, tak perlu kita sangkal.
Itulah kita hari ini. Disaat dunia bergerak turun, kita sibuk membuat menjadi terjun. Politik di rumah kita tak kenal apa itu istirahat dan damai sejenak demi kemanusiaan. Selalu tak ada kata lelah mencari peluang berkuasa.
BLT yang seharusnya menjadi alat agar rakyat tak kelaparan, justru kesempatan baik bagi mereka yang tak senang pemerintah.
Disinilah Presiden mendapatkan apa itu dilema. Disatu sisi peristiwa ini seharusnya tentang kemanusiaan dan stabilitas ekonomi, disisi lain, mereka melihat sebagai peluang politik.
Gagalkan! Kacaukan! Dan..,mesin birokrasi yang mereka kuasai akan bekerja hanya demi program ini tak berjalan.
Ya..,dana BLT sebesar 242 triliun itu sangat mungkin akan mendapat halangan agar tak sampai pada masyarakat. Dikorupsi hingga sengaja tak tersalurkan bukan hal mustahil akan terjadi.
Disnalah Presiden butuh panglima terbaik menjadi pemimpin baik agar bagi-bagi duit ini berjalan baik.
Sulit menemukan meski hanya satu orang yang tepat dan amanah hanya untuk kerja bagi duit. Luar biasa bukan?
BLT gagal disalurkan, bukan cerita berlebihan chaos akan terjadi. Kata kuncinya adalah rakyat marah karena lapar.
Disisi lain, sistem dan birokrasi yang ada pada saat ini sangat meragukan dapat menyalurkan BLT sebesar Rp 242 triliun itu tepat sasaran.
Katakanlah, anggaran benar terserap 100% tetapi belum tentu semua sampai ke 20 juta rakyat miskin bukan?
“Apa solusinya?”
Seharusnya bukan kepada menteri dan kepala daerah lagi. Terlalu riskan. Terlalu banyak bukti mereka bukan team yang baik bila uang adalah apa yang menjadi pekerjaannya.
Pemeritah harus punya team yang kuat untuk menggelontorkan dana BLT. Ketua teamnya harus dia yang benar telah teruji tidak suka dengan korupsi dan tak kalah penting, dia harus punya kompetensi.
“Siapa?”
Seharusnya Presiden sudah tahu. Presiden sudah punya kandidat bila kekacauan tak ingin menjadi apa yang akan dipanen nanti.
Itu hanya soal pilihan, sekaligus goodwill Presiden. Pilihannya sederhana, ribut dengan para politisi yang ngiler atas angka 242 triliun atau 20 juta rakyat ngamuk?
“Bagaimana bila itu tak berjalan?”
Negara ini memang tidak dipenuhi oleh orang amah dan jujur. Namun, terhadap kejadian mereka yang tak amanah dan tak jujur, bukan alasan kita tak menjadi apa seharusnya kita, manusia.
Manusia bukan tentang kotak dan sekat Islam, Hindu, Buddha, Batak, Papua, Jawa, ayah, ibu, adik dan kakak. Manusia adalah tentang anda, saya dan kita semua. Dalam diri mereka yang lapar dan haus, ada Tuhan yang tersenyum dan menyapa kita.
Tengok tetangga dan teman di kanan kiri kita, disamping rumah kita tinggal. Berbagilah meski dari kekurangan kita. Kita kenyang tak menjamin kita selamat bila kekacauan masal terkait perut akibat program BLT itu tersendat.
Solider pada sesama tak pernah menemukan apa itu sia-sia. Seandainya ternyata BLT itu tidak dikorupsi dan berhasil meredam jumlah orang lapar, tak ada kata percuma kita telah berbagi. Selalu ada nilai lebih dengan kita solider.
.
.
.
RAHAYU
Sumber : Status Facebook Karto Bugel

Comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

News Feed