by

Palestina Adalah Kita

Oleh: Dina Y Sulaeman
 

Tahukah Anda, bahwa dalam enam bulan terakhir ini, Israel merampas lebih dari 3000 hektar warga Tepi Barat (pemilik tanah diusir, lalu di atas tanah itu dibangun permukiman illegal untuk warga Yahudi)? Tahukah Anda, selama musim Ramadhan ini, suplai air di Tepi Barat dikurangi hingga 50% (berdasarkan perjanjian Oslo 1999, sumber air di Tepi Berat dikuasai oleh Israel). Beritanya nyaris tak terdengar. Opini publik terlalu sibuk dengan konflik Timteng yang lain, terutama gara-gara kebrutalan ISIS. Nasib satu-satunya negara di dunia yang masih terjajah, tak terperhatikan lagi.

Penjajahan Israel atas Palestina merupakan aib besar sepanjang sejarah manusia modern pasca PD II. Aib yang dimulai dari Resolusi PBB 181/1947 yang menyetujui dibangunnya sebuah negara khususYahudi di atas tanah yang telah ditempati bangsa Arab Palestina selama ribuan tahun. PBB mengalokasikan 56,5 persen wilayah Palestina untuk pendirian negara Yahudi, 43 persen untuk negara Arab, dan Jerusalem menjadi wilayah internasional. Tapi kelak, pada tahun 1967 –setelah terjadinya Perang 6 Hari Arab-Israel—Israel menduduki Sinai, Golan, dan seluruh wilayah Palestina.

Begitu Israel ‘disahkan’ untuk berdiri, pasukan Israel pun melakukan pengusiran dan pembunuhan orang-orang Palestina dari tanah mereka. Jutaan orang Yahudi dari berbagai penjuru dunia didatangkan untuk menjadi warga ‘negara’ yang baru berdiri itu. Untuk menjustifikasi kisah kelam di balik berdirinya Israel, berbagai upaya pengaburan sejarah dan distorsi opini dilakukan. Akibatnya, sebagian orang masih memandang Israel sebagai entitas yang perlu diakui ‘hak’-nya. Tak kurang Presiden Obama, saat mengomentari Operasi Cast Lead Israel di Gaza, Januari 2009, justru menyalahkan Hamas.

Obama berkata, “Biarkan saya jelaskan, Amerika berkomitmen pada keamanan Israel. Dan kita akan selalu mendukung hak Israel untuk membela dirinya di hadapan ancaman yang nyata. Selama bertahun-tahun Hamas telah meluncurkan ribuan roket kepada warga Israel yang tak berdosa.”

Pernyataan senada, menyalahkan Hamas juga diulangi Obama menyusul serangan militer Israel ke Gaza bulan Juli 2014. Pernyataan Obama ini telah melepaskan aksi Hamas dari konteksnya. Bukankah Hamas melempar roket sebagai bentuk perlawanan atas penjajahan Israel? Bagaimana mungkin orang terjajah disalahkan ketika melawan penjajah?

Bangsa Indonesia umumnya membela Palestina dengan landasan argumen UUD 1945 bahwa sesungguhnya kemerdekaan adalah hak segala bangsa. Namun terkadang ada yang menggugat, “Negeri kita ini masih banyak masalah. Orang Arab saja tidak peduli pada Palestina, mengapa kita harus sibuk membantu?”

Untuk menjawabnya, mari kita dengar dulu apa yang diceritakan John Perkins, penulis buku Confessions of an Economic Hit Man. Menurut kesaksiannya,modus operandi lembaga-lembaga keuangan AS dalam mengeruk uang adalah dengan memberikan hutang raksasa kepada negara-negara berkembang. Kata Perkins,
“Salah satu kondisi pinjaman itu –katakanlah US $ 1milyar untuk negara seperti Indonesia atau Ekuador—negara ini kemudian harus memberikan 90% dari uang pinjaman itu kepada satu atau beberapa perusahaan AS untuk membangun infrastruktur—misalnya Halliburton atau Bechtel. Ini adalah perusahaan yang besar. Perusahaan-perusahaan ini kemudian akan membangun sistem listrik atau pelabuhan atau jalan tol, dan pada dasarnya proyek seperti ini hanya melayani sejumlah kecil keluarga-keluarga terkaya di negara-negara itu. Rakyat miskin di negara-negara itu akan terbentur pada hutang yang luar biasa besar, yang tidak mungkin mereka bayar.”

Lalu siapakah pemilik Halliburton atau Bechtel yang disebut Perkins? Sebagian saham Halliburton dikuasai Soros, bisnismen Yahudi yang berperan penting dalam ambruknya perekonomian Asia (termasuk Indonesia, tentu saja) tahun 1997. Bechtel pun dimiliki oleh keluarga Yahudi Amerika. Ini baru dua di antara sekian banyak perusahaan transnasional yang mengeruk uang sangat-sangat banyak di seluruh dunia. Bila kita mempelajari bagaimana sepak terjang berbagai perusahaan transnasional yang dikuasai oleh pebisnis Yahudi dalam mengeruk uang (sebagiannya telah ditulis oleh Perkins), kita dapat menyimpulkan bahwa mereka melakukan aktivitas ekonomi yang kotor dan menghalalkan segala cara. Indonesia adalah saksinya. Anda bisa mulai mengecek siapa saja pemilik saham perusahaan-perusahaan minyak transnasional yang mengeruk minyak kita, sementara kita setiap hari harus impor minyak dari luar.

Lalu, kemana mereka mengalirkan uang itu? Haaretz (koran Israel) pernah menulis bahwa ada istilah Ibrani yang menjadi standar nilai moral di kalangan Yahudi, yaitu ‘tzedakah’. Haaretz mengutip seorang peneliti yang menyebutkan bahwa orang-orang kaya Yahudi memiliki keterikatan kekeluargaan yang sangat erat dan menjadikan ‘tzedakah’ sebagai sebuah kewajiban moral. Inilah yang membuat Israel ‘hidup’ hingga hari ini, mampu melanjutkan kejahatannya di Palestina, serta tak pernah bisa diajak bernegosiasi secara adil demi kehidupan damai di Palestina.

Jadi, membela Palestina pada hakikatnya adalah membela diri kita. Kita pun adalah korban dari tatanan ekonomi dunia yang tidak adil, yang diatur oleh para pebisnis Yahudi. Karena itu, pembelaan pada Palestina seharusnya tidak sekedar histeria mengutuk serangan fisik di Gaza, tapi melupakan aspek ekonomi-politik internasional. Palestina adalah kita, karena kita menghadapi musuh yang sama.

Foto: anak-anak Gaza yang mengalami krisis air

 

(Sumber: Facebook Dina Y Sulaeman)

Comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

News Feed