by

Palestina Adalah Kita

Tentu saja, selalu ada perkecualian, misalnya saja Gilad sendiri, atau Miko Peled; atau para Rabi Neturei Karta yang menolak Israel. Banyak juga orang-orang Yahudi yang mendirikan LSM untuk membela Palestina. Mereka berusaha membuka mata saudara seiman mereka tentang kejahatan rezim Zionis.

Nah, politik identitas serupa juga dipakai oleh ‘saudara kembar’ Zionis: kaum Wahabi. Sejak dimulainya Perang Suriah (2012), politik identitas ini digunakan Wahabi untuk mengacau Indonesia. Konflik Suriah diimpor ke Indonesia dengan 3 tujuan utama: merekrut petempur (“jihadis”), menggalang dana untuk “perjuangan jihad”, dan menguasai politik dalam negeri.

Sejak pilpres 2014, jelas sekali, kelompok-kelompok pendukung “jihad” Suriah itu menunggangi konstelasi politik Indonesia untuk mencapai tujuan mereka. Mereka mengedepankan identitas keislaman (itupun Islam versi mereka) untuk menggalang suara atau untuk menjatuhkan rival politik. Sebagian massa yang terlibat mungkin tak sadar karena mereka mengira sedang “membela agama”. Perlu kecerdasan politik untuk menyadari adanya politik identitas.

Belakangan, militer Israel mengakui bahwa mereka menyuplai dana dan senjata pada para “jihadis” Suriah. Tokoh-tokoh politik AS sendiri juga sudah mengecam bantuan dana dan senjata yang diberikan pemerintah AS kepada “jihadis”. Mengapa AS dan Israel yang mengaku ‘demokrasi’ itu malah mendukung para teroris/”jihadis”, lalu AS bahkan membunuh Jenderal Soleimani yang sukses memimpin perang mengalahkan ISIS? 

Karena, Assad adalah pembela Palestina di garis depan; artinya, dia adalah salah satu musuh terbesar Israel. Sementara itu, para “jihadis” tidak cukup cerdas memahami ini. Bagai zombie, mereka berperang di Suriah, membunuhi sesama Muslim, umat Kristen, Yazidi, dll.

Itulah sebabnya, ISIS (serta kelompok “jihadis”/teroris lain) tidak pernah menyerang Israel. Bahkan Menteri Perang Israel, Moshe Ya’alon menyatakan, “Di Suriah, jika pilihannya antara Iran dan ISIS, saya memilih ISIS.” [2]

Di Indonesia, para supporter “jihadis” ini terus-menerus menyebarkan narasi politik identitas, agar publik terus marah dan mau disetir ke arah manapun yang mereka inginkan. Kalau perlu, sesekali ledakkan bom untuk meluapkan kemarahan kepada kaum “kafir”.

Ini benang merah pertama yang menghubungkan Israel-Suriah-Palestina-Indonesia. 

Selain itu, ada benang merah kedua. 

John Perkins, dalam bukunya Confessions of an Economic Hit Man menceritakan bahwa modus operandi lembaga-lembaga keuangan AS dalam mengeruk uang bangsa Indonesia (dan negara berkembang/miskin lain) adalah dengan memberikan hutang raksasa kepada negara-negara berkembang. 

Tulis Perkins, “Salah satu kondisi pinjaman itu –katakanlah US $ 1milyar untuk negara seperti Indonesia atau Ekuador—negara ini kemudian harus memberikan 90% dari uang pinjaman itu kepada satu atau beberapa perusahaan AS untuk membangun infrastruktur—misalnya Halliburton atau Bechtel. Ini adalah perusahaan yang besar. Perusahaan-perusahaan ini kemudian akan membangun sistem listrik atau pelabuhan atau jalan tol, dan pada dasarnya proyek seperti ini hanya melayani sejumlah kecil keluarga-keluarga terkaya di negara-negara itu. Rakyat miskin di negara-negara itu akan terbentur pada hutang yang luar biasa besar, yang tidak mungkin mereka bayar.”

Lalu siapakah pemilik Halliburton atau Bechtel yang disebut Perkins? Silahkan google saja. Google apa saja proyek mereka di negeri-negeri yang sudah diduduki AS (Irak, misalnya). Google juga, siapa pemilik saham Big Oil yang menguasai ladang-ladang minyak di Indonesia. Cek mana saja perusahaan transnasional yang mengeruk uang sangat-sangat banyak di Indonesia dan seluruh dunia (sebagian dengan cara-cara kotor). Pelajari ekonomi politik global, pelajari bagaimana perekonomian dunia ini dikuasai segelitir manusia; mereka membiayai berbagai perang demi mengeruk keuntungan yang sangat besar. 

Dari situ, Anda akan menemukan nama-nama keluarga/dinasti Yahudi pro-Israel atau Kristen Evangelis yang sangat kaya dan merekalah tulang punggung ekonomi Israel. Haaretz (koran Israel) pernah menulis bahwa orang-orang kaya Yahudi memiliki keterikatan kekeluargaan yang sangat erat dan menjadikan ‘tzedakah’ (sedekah) kepada Israel sebagai sebuah kewajiban moral. Umat Kristen Evangelis (sebagian) jadi korban doktrin para pengkhutbah pro-Zionis, sehingga mereka menyumbang uang sangat-sangat besar untuk Israel. 

[Catat: yang dipersoalkan bukan Yahudi-nya atau Kristen-nya, melainkan dukungan mereka pada rezim yang melakukan kejahatan kemanusian di Palestina]. 

Sumbangan dana raksasa dari mereka, serta dukungan politik-militer AS, yang membuat rezim Zionis Israel bertahan hingga hari ini, terus melanjutkan kejahatannya di Palestina, serta tak pernah bisa diajak bernegosiasi secara adil demi kehidupan damai di Palestina.

Semoga bisa dilihat dua benang merah itu. Penjelasan soal para pebisnis pro-Israel ini bisa dibaca lebih lanjut di tulisan Gilad, supaya bisa lebih paham mengapa ia sampai menulis: “kita semua adalah Palestina, karena kita menghadapi musuh yang sama”. [3]


[1] Obrolan saya dengan Gilad : https://ic-mes.org/politics/interview-with-gilad-atzmon/
[2] https://www.timesofisrael.com/yaalon-i-would-prefer-islamic-state-to-iran-in-syria/
[3] https://gilad.online/writings/gilad-atzmon-israeli-economy-for-beginners.html


Anak-anak Gaza (Photo: John McColgan/trocaire.org)

 
(Sumber: Facebook Dina Sulaeman)

Comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

News Feed