Seperti biasa, banyak pihak, yang selama ini terkenal (bukan hanya dikenal) sangat kritis pada Jokowi, langsung nyamber. ICW segera memberi pernyataan pers. Komnas HAM juga minta mestinya dilibatkan. Di televisi, the academic of nyinyirs silih berganti.
Apakah ada aturannya? Tidak. Pembentukan kabinet kerja, adalah hak prerogatif Presiden. Ketika dulu, 2014, Jokowi ‘mengkonsultasikannya’ pada KPK dan PPATK, diapresiasi secara luar biasa. Padahal itu biasa saja.
Biasa saja juga ketika Presiden tak menggunakan KPK atau PPATK, atau pun Komnas HAM, ormas, dan sebagainya. Meski pun kalimat “tak menggunakan” belum tentu benar. Karena Jokowi 2014 tentu beda Jokowi 2019. Telah 5 tahun ‘berpengalaman’ menjadi Presiden. Apalagi ia seorang pendengar yang baik, dan tak banyak bicara.
Sebagai top-leader, top-manager, atau RI-1, Jokowi memiliki akses jauh lebih luas, dibanding KPK, Komnas HAM, apalagi ICW. Mengabaikan mereka? Tentu tidak. Karena perjalanan 5 tahun, juga dengan adanya KSP, tidak mungkin Presiden tak mempunyai data. Itu menghina banget. Jokowi sebagai top-leader, pastilah dengan sendirinya membangun sistem dan mekanismenya eksklusif..
Apalagi ketika mengerti, tak mudah mengubah penyakit birokrasi di Indonesia. Jokowi bisa dipastikan bukan tak punya opini, atau penilaian, atas lembaga dan komisi negara seperti KPK, Komnas HAM, PPATK, KPAI, KPI, bahkan MK, MA, atau DPR sekalipun. Sebagaimana masyarakat umum juga bisa menilai kinerja mereka.
Apalagi, last but not least, performance KPK mutakhir, juga tak sangat indah. Dalam banyak hal kayak banci kamera. Masuk dalam blunder publisitas, ceriwis dengan berbagai pernyataan. Hingga KPK terseret perdebatan tak produktif. Konflik terbuka antara Novel Baswedan dengan Jokowi, tidaklah elok. Gertakan mundurnya ketua KPK, mengembalikan mandat pada Presiden, tapi kemudian caper mempersoalkan kenapa KPK tak diajak dalam pembentukan Kabinet, dagelan tidak lucu.
Bagaimana jika sekarang Presiden Jokowi tidak percaya, atau perlu berhati-hati pada KPK? Kenapa? Karena komisi negara ini kini lebih memposisikan berhadapan secara diametral dengan Presiden. Komisi negara ini terkesan memakai momentum pembelaan diri dengan mengajuk, membenturkan Presiden dengan rakyat.
Bukan hanya Presiden, rakyat juga bisa khawatir, jika KPK dipakai sebagai bunker kekuatan politik tertentu. Tapi, mari duduk bersama. Bukan bertengkar di media untuk mendapatkan pencitraan atau efek mediasi doang.
(Sumber: Sunardian Wirodono)
Comment