by

Pak Guru, Renungkan Suara Siswa Ini

Oleh : Afi Nihaya Faradisa

Saya adalah murid yang baru saja naik ke kelas 12 (kelas 3 SMA).
Tanpa mengurangi sedikitpun rasa hormat pada para “pendidik” sekaligus terlepas dari siapa yang benar dan siapa yang salah dalam kasus wali murid mempolisikan guru yang ramai belakangan ini, ijinkan saya menyampaikan beberapa pandangan saya tentang ‘rasa’ dari pendidikan Indonesia.

Tidak semua hal bisa diselesaikan dengan kekerasan. Ini sekolah umum yang membentuk mental siswa dengan pelajaran moral dan pendidikan, bukan sekolah militer yang membetuk mental dengan pendekatan fisik apapun bentuknya; entah pukulan, tamparan, bahkan cubitan sekalipun (apalagi jika sampai meninggalkan bekas).
Lihatlah produk pendidikan tradisional yang sangat kaku dan otoriter; membentuk mindset siswa bahwa segala sesuatu jalan keluar terbaiknya adalah KEKERASAN.
Punya anak nakal? Dikerasi.
Tim bola kesayangan kalah? Bentrok sana sini.

Lihatlah hasil didikan-didikan

Bapak dan Ibu, sebagian dari para guru. Siswa masuk tepat waktu bukan karena kesadaran, tapi karena takut HUKUMAN. Siswa berusaha mencapai nilai KKM bukan karena kesadaran, namun karena ancaman hukuman lari di lapangan atau takut menanggung malu karena daftar nilai terpampang.
Bukankah begitu kenyataannya?

Lihat saja jika para siswa melakukan pelanggaran terhadap aturan. Mereka merasa baik-baik saja, tidak ada perasaan bersalah selama mereka tahu mereka LUPUT DARI PENGAWASAN, selama mereka tahu mereka bebas dari beban hukuman.
Contoh saja, siswa berani mencontek ASAL TIDAK KETAHUAN.
Ujian nasional yang telah negara selenggarakan selama bertahun-tahun terbukti GAGAL, tidak pernah menjadi parameter kemampuan siswa yang sebenarnya karena tidak dipungkiri BANYAK KECURANGAN SANA-SINI.

Karakter patuh-karena-takut-hukuman-bukan-karena-kesadaran ini akan terbawa oleh siswa sampai mereka dewasa. Contohnya,
Orang-orang dengan santainya melanggar peraturan lalu lintas ASAL TIDAK KETAHUAN.
Politisi produk pendidikan Indonesia masih hobi korupsi ASAL TIDAK KETAHUAN.
See?

Jadi, hukuman fisik produk pendidikan sebagian guru-guru Indonesia (tidak semua, karena ada yang tetap mendidik dengan dedikasi tinggi) , tidaklah terbukti EFEKTIF menumbuhkan kesadaran pada benak siswa dan malah sebaliknya.

Pak, Bu,
Apakah para guru hanya dibayar untuk duduk di meja guru lalu pulang setelah menjelaskan pelajaran? Pekerjaan ‘pendidik’ seharusnya tidak seenteng itu. Para pendidik dituntut untuk kreatif menemukan cara BAGAIMANA caranya membentuk karakter siswa TANPA perlu hukuman fisik. Bisakah? Sangat bisa!

Saya tahu sekali bahwa Anda menghukum fisik siswa agar mereka patuh dan berdisiplin baik. Tapi, saya rasa hukuman fisik semacam itu malah menunjukkan bahwa sebagian guru Indonesia kurang kreativitas dalam meningkatkan karakter siswa selain pakai jalan tengah yang disebut HUKUMAN FISIK. Contohlah pendidikan negara-negara lain yang tidak mengandalkan hukuman fisik dalam membentuk karakter siswanya, tapi faktanya kualitas murid hasil didikan di sana JAUH LEBIH BAIK dibandingkan Indonesia yang notabene masih mengagung-agungkan hukuman fisik sebagai DALIH pembentukan mental dan karakter.
.
Dear our beloved teachers,
Apakah bapak dan ibu mau tahu apa metode MENDIDIK SISWA TERBAIK DENGAN OUTPUT/HASIL YANG JUGA TELAH TERBUKTI BAIK DAN BERHASIL?
Oke. Sekarang, berkacalah pada fakta dan realitas yang terpampang jelas di depan mata.
Guru, sebagaimana halnya dengan siswa, sama-sama adalah manusia.

Kita semua -tanpa terkecuali- sama-sama berpotensi untuk melakukan kesalahan.
So, kalau begitu kesalahan bukan hanya datang dari peserta didik, bukan? Namun juga datang dari pendidik itu sendiri.
Terimalah kritik saran dengan berlapang dada sebagaimana seperti yang selama ini juga bapak ibu ajarkan pada kami.

Jadi, apa metode MENDIDIK SISWA TERBAIK DENGAN OUTPUT/HASIL YANG JUGA TELAH TERBUKTI BAIK DAN BERHASIL -tentunya tanpa mengandalkan hukuman fisik-?
Hanya satu: TELADAN.

Perbaiki kualitas bapak ibu. Berikanlah kami contoh seperti apa ORANG YANG BERKARAKTER SESUNGGUHNYA.
Para pengajar tidak bisa menaruh slogan di sekolah yang menuliskan berbagai kenakalan remaja seperti merokok dan sebagainya, jika mereka sendiri yang memenuhi udara sekolah dengan asap rokok itu.
Para pengajar tidak bisa menyuruh kami untuk super disiplin jika ada satu saja dari mereka yang selalu datang telat, absen mengajar dengan berbagai alasan, atau ogah-ogahan mengulangi penjelasan jika ada bab yang belum kami pahami.

Tidak ada cara mendidik terbaik yang mengalahkan “menjadi teladan yang baik” pula.
An action speaks louder than thousand words.

Guru adalah ujung tombak kurikulum. Mau kurikulumnya dirombak terus sekian rupa, kalau tidak ada peningkatan yang berarti dari gurunya, lihatlah, semua itu terbukti sia-sia.
K13 katanya menjunjung tinggi moral, namun fakta di lapangan tidak menunjukkan perubahan yang signifikan. Masih begini-begini saja, kan?

Semoga kualitas pendidikan di Indonesia mengalami peningkatan seiring tahun. Semoga menghasilkan lulusan-lulusan yang bukan hanya patuh di sekolah, namun juga berkarakter baik di rumah.
Bravo pengajar dan siswa Indonesia!
– Afi.

Comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

News Feed