by

Olok-Olok Lapindo

Oleh: Heri Andreas

 

 Ingatan kita pasti belum tumpul atas bencana semburan lumpur panas Lapindo pada Mei 2006.

Saat itu luapan lumpur panas menenggelamkan kawasan permukiman, sekolah, sawah, kebun, dan pabrik, sampai 7 kilometer persegi.

Semburan lumpur panas terjadi tak jauh dari lokasi PT Lapindo Brantas melakukan pengeboran minyak dan gas bumi.

Kini, di awal 2016, kita mendengar PT Lapindo Brantas akan kembali melakukan pengeboran migas di Desa Kedungbanteng, Tanggulangin, yang berjarak sekitar 2,5 kilometer dari pusat semburan lumpur panas Lapindo.

Sebagian dari kita tentu masih ingat manakala PT Lapindo Brantasmencoba lepas tanggung jawab dengan dalih bahwa semburan diakibatkan oleh sesar (Watukosek) yang tereaktivasi gempa Yogya, bukan karena kelalaian mereka. Alamlah, kata mereka, yang harus disalahkan.

Sekitar Rp 9 triliun kerugian materiil akibat bencana ini akhirnya ditanggung pemerintah.

Lalu, yang kemudian terasa janggal, mengapa kini mereka seolah- olah tak takut bahwa alam akan membuat hal sama ketika mereka ingin mengebor kembali? Mengapa mereka tidak takut akan bencana Lapindo jilid II?

Sekarang kita coba pakai logika sederhana. Ketika PT Lapindo Brantas berniat melakukan pengeboran kembali, bisa jadi mereka yakin pengeboran akan aman; bahwa di sekitar wilayah Porong tak terdapat sesar (Watukosek); bahwa tak ada kaitan gempa (Yogya) dengan potensi semburan lumpur; bahwa dalam melakukan pengeboran hingga 1.000 meter, tidak akan menyentuh sumber geotermal; bahwa menggunakan casing akan mengamankan pengeboran dari potensi-potensi sumber lumpur. Dipastikan bahwa mereka tidak sedang berjudi dengan alam.

Hasil penelitian yang kami lakukan bersama kolega di Institut Teknologi Bandung (ITB) selama hampir 10 tahun (2006-2016) menyimpulkan, memang tak ada fakta kuat mengenai keberadaan sesar Watukosek. Pun tak ada fakta kuat yang menunjukkan gempa Yogya sebagai penyebab semburan lumpur panas Lapindo.

Berarti, apabila gempa Yogya bukan penyebab semburan lumpur, maka pengeboranlah yang menjadi penyebabnya (sebab tersangka hanya dua untuk hal ini).

 

Kesimpulan yang sama

PT Lapindo Brantas sebenarnya memiliki kesimpulan yang sama dengan kami. Itulah yang menjelaskan mengapa mereka tidak takut melakukan pengeboran kembali dengan teknik yang benar dan menghindari sumber geotermal dengan tidak mengebor lebih dari 1.000 meter.

Bisa dikatakan, dengan melakukan pengeboran kembali, PT Lapindo Brantas saat ini secara tak sadar sedang membuka borok sendiri dan telah mengolok-olok masyarakat dan pemerintah.

Mereka berhasil memperdayai masyarakat dan pemerintah. Mereka senang melihat bagaimana ulah mereka ditanggung orang lain karena teperdayanya masyarakat dan pemerintah.

Mereka tentu senang DPR dan pemerintah menyatakan semburan lumpur panas Lapindo adalah bencana alam.Juga senang karena lagi-lagi pemerintah (sembilan tahun pasca bencana) kembali menggelontorkan uang sekitar Rp 700 miliar untuk menalangi kewajiban mereka.

 

Saya ingin berbagi tentang bagaimana PT Lapindo Brantas memperdayai kita dengan data yang mereka sampaikan dahulu.

Pertama, mereka bilang ada sesar Watukosek yang memanjang dari ujung Gunung Penanggungan sampai Pulau Madura.

Kedua, mereka bilang gempa Yogya telah mereaktivasi sesar Watukosek sehingga terjadi semburan lumpur panas.

Ketiga, mereka bilang rekahan-rekahan yang terjadi di sekitar semburan dan bengkoknya rel kereta api merupakan bukti reaktivasi sesar.

Mereka menggunakan teori perulangan gempa, reaktivasi sesar, dan teori gempa memicu gempa lainnya.

Nyatanya, rekahan-rekahan yang katanya terjadi searah dengan sesar Watukosek di lapangan polanya konsentris terhadap pusat semburan, yang lebih tepatnya berasosiasi dengan pembentukan kaldera gunung lumpur, bukan aktivitas sesar.

Rekahan ada jauh setelah semburan lumpur terjadi, bahkan bengkoknya rel kereta api terjadi setelah enam bulan semburan.

Hal ini jelas bertentangan dengan fakta reaktivasi sesar di mana seharusnya ketika terjadi reaktivasi sesar, maka harus serta-merta terjadi rekahan-rekahan, termasuk bengkoknya rel kereta api, dan diiringi dengan getaran atau gempa bumi.

Nah, yang terjadi di Lapindo itu pertama terjadi semburan dulu, disertai gas-gas, kemudian lama kita menunggu, berhari-hari, berbulan-bulan baru dapat dilihat rekahan-rekahannya, sudah itu tidak pernah terjadi getaran (gempa).

Apa tidak aneh kalau kejadiannya seperti itu? Seharusnya dengan sesar Watukosek yang memanjang sampai Madura (kurang lebih 100 kilometer), tidak mungkin ketika terjadi reaktivasi, tetapi tidak terekam gempa sama sekali!

Dengan adanya peristiwa terkini, 2016, di mana PT Lapindo Brantas akan melakukan pengeboran kembali di sekitar semburan lumpur panas Lapindo, saya sangat mendukung untuk PT Lapindo Brantas membuka borok mereka oleh mereka sendiri, oleh ketidaksadaran mereka.

Selanjutnya, sudah saatnya fakta- fakta yang terabaikan dibuka kembali, untuk menunjukkan siapa yang seharusnya bertanggung jawab atas semburan lumpur panas Lapindo tahun 2006.

Keberanian pemerintah sekarang diuji, termasuk keberanian Presiden.Saya yakin Presiden kita sekarang ini berani, cuma beliau belum tahu saja duduk perkara sebenarnya itu seperti apa.

Hal lain yang menarik disimak, ada kemungkinan pengeboran Lapindo pada 2006 salah posisi koordinat, juga salah model permukaan bawah tanahnya.

Hasil penelitian atas data eksplorasi migas, ditemukan 8 dari 10 data bermasalah di posisi koordinat.

Jadi, bukan tak mungkin ini juga terjadi di data eksplorasi Lapindo tahun 2006.

Akibat dari posisi koordinat ini, apabila dihitung secara sederhana saja, kita punya potensi kerugian puluhan triliun rupiah dari proses eksplorasi dan eksploitasi migas di negara kita tercinta ini, yang tentunya pemerintah serta rakyat yang harus menanggung kerugian ini.

Ironisnya, hingga saat ini SKK Migas dan Kementerian ESDM belum mengetahui informasi ini.

Penulis adalah Pengajar dan Peneliti di Fakultas Ilmu dan Teknologi Kebumian, ITB
(Sumber: Kompas)

Comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

News Feed