by

NU : Stum Indonesia

Sampai saat ini, manakala saya menerima ajakan revolusi melalui WA dengan gambar-gambar bombastis dan susunan kalimat provokatif, saya hanya membalas, “Revolusi Taek ta cak?!”. Nggak peduli yang ngisim sms tokoh terkemuka atau sahabat saya. Ayolah belajar dari Libia, Irak, Afganistan, Yaman, dan Suriah. Berapa juta korban jiwa dalam Gegap Gempita Revolusi yang ditawarkan oleh segelintir orang dengan kepentingan politik pribadi dan kelompoknya, berapa juta saudara-saudara kita yang terlunta-lunta akibat janji Revolusi Rakyat di Suriah? Setelah Muammar Qadhafi terbunuh, apakah Libia damai? Tidak. Di sana kaum Islamis yang egois menyusun pemerintahan sendiri di Sirte, sedangkan kaum sekuler yang keras kepala punya pemerintahan sendiri di Tripoli. Ini belum menghitung dampak kerugian psikologis rakyat Libia akibat segelintir orang menuruti bisikan BARAT untuk melakukan revolusi. Dan, tahukan anda, aktor yang memprovokasi perang melawan Qadhafi saat ini sudah berpindah ke Suriah. Libia remuk, Suriah lebur. Bagaimana dengan Yaman? Sama terseok-seoknya. Perang hanya menyisakan luka, trauma dan derita. Kita tentu tidak ingin hal ini menimpa kita. Indonesia memang tidak sesempurna dan seideal imajinasi sebagian bigot yang melakukan teror atas nama agama, tapi di sini, lebih realistis dan nyata untuk menjalankan ibadah dan mewujudkan maslahat.

Tunisia, sumbu awal revolusi di kawasan Arab, nyaris perang saudara. Untung di sana ada lembaga-lembaga yang menjaga kondusifitas negeri sehingga chaos hanya berlangsung sejenak dan tidak menjalar lebih besar. Api kerusuhan dipadamkan melalui dialog nasional oleh gabungan aksi Serikat Buruh Umum Tunisia (Union Générale Tunisienne du Travail/UGTT), Konfederasi Industri Tunisia, Serikat Perdagangan dan Perdagangan Kerajinan (Union Tunisienne de l’Industrie, du Commerce et de l’Artisanat/UTICA), Liga Hak Asasi Tunisia (La Ligue Tunisienne pour la Défense des Droits de l’Homme/LTDH), dan Orde Pengacara Tunisia (Ordre National des Avocats de Tunisie). Kwartet organisasi ini menjalankan inisiasi perdamaian yang juga didukung oleh para ulama yang memilih meredam gejolak di masyarakat. Mereka menghindari kemudaratan daripada sekadar mendahulukan kemaslahatan.

Mesir nyaris perang saudara, untunglah ada dewan ulama di Al-Azhar yang menjadi penyeimbang antara kubu sekuler dan Islamis. Efek sampingnya, ulama Al-Azhar dicaci sebagai pendukung rezim Assisi. Padahal bukan soal dukung mendukung kekuasaan. Yang dikehendaki oleh ulama al-Azhar adalah kondusifitas negeri yang berdiri di atas semua golongan. Jika anda melihat fitnah yang dilancarkan oleh beberapa orang terhadap ulama Al-Azhar, maka mengapa masih heran melihat kiai-kiai NU difitnah dan dicacimaki karena keinginan menempatkan Indonesia sebagai rumah bersama?

NU dan Muhammadiyah harus menjadi pendulum yang menjaga keseimbangan gerak bandul politik yang semakin liar. Sebagaimana dhawuh KH. Syaroni Ahmadi, NU (dan Muhammadiyah) persis silinder/stum. Selinder alias stum memang nggak keren, nggak lincah, dan tampilannya juga nggak mencolok. Jelas, kekuatannya bukan terletak pada tampilan, melainkan pada gerakannya yang lambat tapi mantab dan jelas jalurnya, serta berfungsi memuluskan kemaslahatan “jalan raya” umum, bukan jalur kelompok saja.

Jadi, tetaplah NU dan Muhammadiyah menjadi pencegah kebakaran di satu sisi, dan berfungsi sebagai selinder di sisi lain.

WAllahu A’lam Bishshawab

Hari ini, 92 tahun silam, NU lahir. Hari ini pula, 43 tahun lalu, Preity Zinta juga hadir di dunia ini. Salam, Namaste! 

Sumber : Status Facebook Rijal Mumazziq

Comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

News Feed