by

NU “Gila” dan Kafir

 

Bagiku yang sejak TK hingga S2 bergelut dengan aneka regulasi Islam (fikih) –dari bangun hingga tidur lagi– keputusan ini terbilang tidak hanya sangat berani, namun juga super duper progresif.

Dalam fikih klasik Islam, pada dasarnya semua tindakan sosial dan ritual akan dihukumi secara adil sampai kemudian kata “kafir” atau yang sejenisnya ikut serta. Misalnya, relasi asmara dua insan akan terpisah jika ada kata kafir; donasi akan bergolak ketika ada kafir; pun, hukum pewarisan dan pemakaman akan berwajah masam jika hadir kata kafir.

Orang Islam sudah pasti akan dicoret namanya dari daftar penerima waris jika ia coba-coba menyeberang ke agama lain.

Kafir tidak hanya domain agama. Di hampir negara berpenduduk mayoritas Islam, kata kafir adalah urusan negara. Posisinya semacam kode “ET” dalam politik penandaan 65 milik rezim Orde Baru. Pemilik KTP berkode “ET” akan mengalami kesengsaraan sepanjang hidupnya. Begitu juga kafir.

NU tahun ini melakukan terobosan yang tidak main-main dalam urusan kafir. Kata ini disebut 482 kali dalam al-Quran, dengan kemiringan maknawi yang sangat tinggi dan berhulu ledak tinggi. Di tangan NU pedang telah diubah menjadi matabajak untuk menggarap arah baru keislaman Indonesia yang lebih inklusif.

Keputusan ini akan berimplikasi sangat serius dan menggembirakan. Rasanya seperti sikap yang diambil teman-teman Katolik dalam Konsili Vatikan II menyangkut keniscayaan adanya kebenaran di luar lingkungan Gereja Katolik Roma.

Sebagai warga NU pinggiran, aku sangat bersyukur dan mengapresiasi keputusan ini. Matur nuwun. Terbayang jika suatu saat nanti Galang atau Cecil mengenalkan temannya padaku. “Yah, kenalkan, ini pacarku yang baru. Dia kayaknya ke Vihara deh,”

 

(Sumber: Facebook Aan Ansori)

Comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

News Feed