by

NU Dan Pancasila, Membayar Hutang Yang Tak Mudah

Pancasila rasa Demokrasi-Terpimpinnya Soekarno kemudian dijalankan pascadekrit. Poros agama dalam Nasakom diisi oleh Nahdlatul Ulama. Betul, NU akhirnya bisa duduk bersama dengan PKI dan, saya kira, mulai belajar melihat lawan politik yang ia hajar habis-habisan selama sidang Konstituante. 
 
Pilihan NU untuk “membelot” ke kelompok Nasionalis bisa dipahami dalam rangka ingin membuktikan bahwa dirinya jauh lebih progresif ketimbang Masyumi, kompetitor sekaligus rumah politik lama penuh derita bagi Nahdliyyin. 
 
Memang, NU dibawah kepemimpinan rais aam Yai Wahab Chasbullah sejak 1947 hingga 1971 bisa dikatakan cukup progresif dan terbuka. Dia adalah satu-satunya kiai papan atas NU, kala itu, yang cukup dekat dengan lingkar studi dan politiknya HOS Cokroaminoto di Surabaya ketika Soekarno masih relatif muda. Pemikiran out of the box kiai cum pengusaha ini adalah jejak awal yang sangat penting di tengah tradisionalisme Nahdliyyin yang masih cukup dekat dengan blok-Islamnya Masyumi dkk.
 
Pada kelanjutannya, blok-Islam ini, dengan sokongan militer, dan Amerika Serikat, akhirnya berhasil membalaskan dendam pada Soekarno dengan cara melengserkannya, berbarengan dengan sekutu terkuat; PKI. 
 
Dalam soal Tragedi 65-66, penting diketahui bahwa terdapat dua kelompok di tubuh NU saat itu; faksi mbah Wahab-pak Idham Chalid yang cukup moderat, dan faksi militan-tradisionalis yang lebih dekat dengan Masyumi. Saya menulis agak panjang kiprah keduanya dalam “Kemenangan Faksi Militan; Jejak Kelam Elit Nahdlatul Ulama akhir September-Oktober 1965,” Silahkan dicari sendiri di internet.
 
Yang menarik, selama proses transisi awal dari Orde Lama ke Orde Baru, sekitar tahun 1967-1970, sebagai imbas dari penggayangan ratusan ribu Tertuduh PKI, terdapat fakta mencengangkan, yakni banyak orang pindah agama ke Kristen/Katolik. Jumlahnya mencapai mendekati satu juta orang. Mereka menemukan salib sebagai “jalan spiritualitas baru” pelipur duka gara-gara Tragedi 1965.
 
Kenyataan ini tak pelak membuat  blok-Islam makin membenci kelompok Kristen, rival abadi mereka dalam perumusan dasar negara ini. Sikap ini pada gilirannya akan mempertebal kecurigaan mereka dalam perjalanan Pancasila.
 
Di tangan Soeharto, Pancasila berubah menjadi teks suci untuk melegitimasi ketakutannya terhadap dua yang dianggap musuh; komunisme dan Islam-Politik. Seluruh aspirasi politik aliran (Islam) dikanalisasi menjadi satu pintu partai politik melalui PPP, agar mudah dikontrol kemudian ditundukkan. 
 
Faksi di dalam Nahdlatul Ulama yang dekat dengan Blok Islam kembali bersatu dengan blok tersebut untuk memperjuangkan aspirasi syariat melalui partai tersebut dalam bingkai Pancasila dan NKRI, hingga kemudian Nahdlatul Ulama dinakhkodai dua tokoh utamanya; Yai Akhmad Shiddiq sebagai rais aam dan Gus Dur sebagai ketua umum. Keduanya memutuskan NU menerima asas tunggal Pancasila sebagai dasar organisasi menggantikan narasi Islam yang telah diugemi sejak lama oleh organisasi ini. 
 
Dua orang ini kemudian mengambil sikap politik yang tak kalah penting, yakni menarik NU keluar dari arena politik praktis di mana selama ini NU adalah lokomotif utama PPP. 
 
Khusus Gus Dur, ia begitu sangat serius memberikan arah baru dalam NU, terutama bagaimana Islam bisa sejalan dengan Pancasila untuk merawat kebhinnekaan yang ada. Sungguh. Ia memberikan segalanya agar NU bisa menjadi lebih moderat, termasuk mempertaruhkan previlese darah birunya dengan menjabat sebagai ketua Dewan Kesenian Jakarta dan  membuka acara malam puisi Yesus Kristus. 
 
Itu hanya contoh kecil dari langkah-langkah “nyleneh” Gus Dur mengaplikasikan Pancasila dalam semangat ke-NU-annya yang membuatnya tidak hanya diboikot kiai Asad Syamsul Arifin, kiai sangat senior di kalangan NU, namun juga membuat suami Sinta Nuriyah ini harus menghadapi “sidang” ratusan kiai di Pesantren Arjawinangun Cirebon 1989. 
 
Secara khusus terkait luka masa lalu Kristen-Islam, Gus Dur yang merupakan “santo” di kalangan jutaan Nahdliyyin terasa benar-benar memberikan antibiotik agar luka itu sembuh dan sekaligus membuat ikatan Islam-Kristen jauh lebih kuat, sebagaimana keinginan asasi Pancasila. Hal ini tercermin dari penggalan pidato Presiden Gus Dur 27 Desember 1999 pada sebuah perayaan Natal. 
 
_”…. Suka cita ini bukanlah hanya monopoli Anda-anda yang beragama Kristen saja, tapi adalah kegembiraan kita semua. Ini tertuang baik dalam kitab suci kaum Kristiani maupun di dalam Al-Quranul Karim yang saya percayai, karena di sana diterangkan adanya seorang Juru Selamat yang datang ke dunia. Dari semua penafsiran Al-Quran menyatakan, bahwa Sang Juru Selamat itu adalah Isa al Masih,”_
 
NU dibawah komando Gus Dur pelan-pelan bermetamorfosis menjadi kekuatan baru pembela Pancasila yang sesungguhnya. Bukan pengusung Pancasila yang munafik; mulutnya menyatakan Pancasila namun hatinya menginginkan tegaknya syariat Ialam.
 
Dalam pikiran saya, NU seperti tengah membayar hutang masa lalunya terhadap Pancasila. Pembayaran itu tidaklah mudah karena hingga detik ini, masih ada tiga kelompok dalam NU terkait penerimaan Pancasila; menolak, lamis, dan menerima sepenuhnya. 
 
Saya ada di kelompok terakhir. Entah Anda.(*)

Sumber : Status Facebook Aan Anshori

 

Comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

News Feed