by

Negeri yang Hampir Saja Terbakar Api

Rencana Soenarko dengan memanfaatkan sniper untuk membunuh beberapa orang supaya demo semakin rusuh, rupanya hanya Plan A. Meski Soenarko ditangkap, Plan B tetap berjalan. 

Kuncinya, harus ada korban jiwa.

Dan bergelimpanganlah nyawa 8 orang dari pihak pendemo terkena tembakan peluru tajam. Siapa yang melakukan itu, sedangkan Soenarko sudah ditangkap ? 

Hermawan Sulistyo, Profesor LIPI, menemukan bukti yang mencurigakan dari 8 korban yang meninggal itu. “Semua tembakan single bullet, atau mati dengan satu peluru saja…” 

Bayangkan, ketika mereka sedang asik-asik demo, tiba2 dari belakang ada yang menempelkan pistol di leher mereka belakang telinga dan “dor !” satu tembakan langsung ditempat mematikan. Mereka dieksekusi jarak dekat. Bajingan !

Dari jenis pelurunya, diduga pistol yang menembak jenis Glock, pistol yang sering dipakai para Jenderal.

Dan menariknya lagi, kata Hermawan, pihak Rumah Sakit ketika dibawakan korban meninggal asal main terima saja. Tidak bertanya dengan curiga kepada pembawa mayatnya. 

Sesudah ada korban mati, Plan C pun dilaksanakan. Ratusan selongsong peluru disebarkan dijalan dan difoto oleh banyak orang dengan narasi di media sosial, “Lihat peluru tajam polisi !” 

Anehnya, selongsong itu dibawa dengan kantong kresek plastik. Jelas ada yang ingin melakukan propaganda bahwa polisi memang menggunakan senjata tajam.

Sebelum demo 22 Mei, polisi sendiri sudah membekuk puluhan teroris yang siap meledakkan diri di tengah para pendemo yang dibayar 300 ribu sampai 500 ribuan. Bayangkan jika polisi tidak bertindak cepat, ada berapa ratus korban jiwa di tengah aksi karena ledakan bom bunuh diri dimana-mana ?

Aksi 22 Mei ternyata tidak sesederhana situasi yang terlihat di lapangan. Begitu banyak pergerakan berbahaya sebelum hari H yang semua akan berujung pada kepanikan dan kerusuhan. 

Apa tujuannya situasi panik dan rusuh itu ?

Tentu menjadikan Indonesia seperti tragedi 1998. Korban jiwa ratusan, api menyala dimana-mana, perkosaan terhadap etnis Tionghoa kembali berlangsung dan berdampak pada larinya sebagian orang keluar negeri. Ekonomi kolaps dan Jokowi akan dipaksa mundur dari jabatan.

Jika itu terjadi, diharapkan institusi militer terbelah dan situasi negara dianggap darurat sehingga kekuasaan diambil alih. Dahsyat….

Situasi ini melengkapi teori saya sebelumnya, bahwa ada 4 unsur kekuatan yang sudah lama dibangun untuk membuat rusuh Indonesia. 

Yang pertama kekuatan umat, yang dibangun melalui ormas-ormas radikal. Dan kedua kekuatan di dalam militer melalui oknum, sebagai pengambil alih kekuasaan. Ketiga, kekuatan politik sebagai partner melalui partai dan politikus. Dan keempat kekuatan dana, melalui pengusaha hitam yang sedang was-was uang mereka diluar negeri disita negara.

Ulama palsu, oknum militer, politikus busuk dan pengusaha jahat bergabung menjadi satu untuk melakukan kudeta besar.

Para ormas radikal dengan membawa nama “umat” ini dibangun oleh Hizbut Thahrir sebagai bagian dari melegitimasi kekuasaan yang diambil secara tidak sah oleh kekuatan lainnya..

Jadi paham kan, kenapa sebagian dalangnya pada lari ke Saudi sebelum aksi ?

Alhamdulillah, Indonesia masih kuat menahan gempuran itu. Kita harus berterimakasih pada kepolisian termasuk Densus 88, aparat militer yang masih cinta NKRI, para intelijen yang memasok informasi dan rekan-rekan silent majority yang siap turun ke lapangan jika situasi menjadi tidak aman.

Dan kita wajib berterimakasih pada Tuhan yang Maha Esa atas berkatNya dalam melindungi negara tercinta..

Seruput kopinya..

 

(Sumber: facebook Denny Siregar)

Comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

News Feed