by

Natuna dan Soleimani

Pertama, ini hanya soal testing the water secara berkala. Jika nanti perang meletus di Pasifik, China perlu tahu negara-negara mana saja yang bisa menjadi teman, musuh, atau netral di kawasan pasifik. Jelas dalam konteks ini, Indonesia tidak bisa menjadi teman. Hanya berharap Indonesia netral dari pada menjadi musuh. China tidak akan berani memulai perang dengan Indonesia.

Kedua, ini soal penyatuan perasaan rakyat. China tidak ubahnya seperti negara-negara lainnya punya masalah domestik. Punya masalah separatisme di Xinjiang dan Tibet, dan yang paling besar adalah tuntutan kebebasan sebagaimana yang terlihat dalam demonstrasi berbulan-bulan di Hongkong. Mulut rakyat yang penuh makanan tidak lagi butuh suapan tangan pemerintah, yang dibutuhkan adalah lidah yang bebas berbicara. Guna mengantisipasi, maka dibuatlah Nine Dash Line bertahun-tahun lalu yang dibarengi tindakan provokatif di pasifik untuk memainkan emosi sebagai ‘great nation’. Nasionalisme menjadi obat untuk menyatukan perasaan rakyat dengan merekayasa adanya musuh dari luar.

Dalam teknik sulap, peristiwa ini dinamakan deception (pengalihan). Bukan hanya ditujukan ke masyarakat global, sebab pada dasarnya lebih diarahkan ke masyarakatnya sendiri.

Pun demikian dengan terbunuhnya Mayjend Solemaini, Amerika tidak akan pernah berani melakukan perang total seperti yang mereka lakukan di Irak era Saddam dan Afghanistan era Taliban berkuasa. Paling banter hanya serangan rudal sporadis. Trump punya masalah serius berkat dakwaan pemakzulan padahal tahun ini ia mesti bertarung lagi di Pilpres. Belum lagi gejolak sosial akibat meningkatnya aktivitas ‘white supremacy’. Membunuh Solemaini memang bukan untuk menyatukan rakyat Amerika yang terbelah tapi untuk mempertahankan dan memperkuat dukungan di basis pemilih, terutama kaum ‘the eagles’. Berikutnya, ini soal mendapatkan dana kampanye dari perusahaan dan kontraktor militer. Semakin berlarut-larutnya perang di berbagai laga dan ketegangan di berbagai Kawasan maka pihak yang paling diuntungkan adalah mereka yang berdagang senjata.

Lalu apa dampaknya bagi Iran dan Indonesia? Iran yang beberapa minggu terakhir digoncang demonstrasi di berbagai kota kini punya senjata baru: memanfaatkan momentum kematian ‘si orang kuat kedua’. Persia adalah bangsa yang punya sejarah 2500 tahun. Dan, yang paling penting memanfaatkan momentum ini untuk menarik diri dari perjanjian nuklir 2015. Siapa yang berani menahan di tengah bangsa yang sedang dilanda amarah? Indonesia, bersyukurlah isu Jiwasraya dan Garuda Indonesia sementara tenggelam.

Sumber : Status Facebook Dwi Winarno,
Pengangguran Berkualitas

 

Comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

News Feed