by

Nasionalisme, Era Soeharto dan Jokowi

Oleh: Denny Siregar

Era Soeharto meski meninggalkan jejak berdarah, juga meninggalkan jejak yang baik.

Begitu kuatnya nasionalisme ditanamkan sejak dini. Upacara bendera di sekolah-sekolah, lagu-lagu kebangsaan, pemasangan bendera saat hari perjuangan benar-benar dipaksakan. Tidak ada yang berani melanggar, karena akan dituding PKI dan kata PKI adalah momok yang menakutkan.

Lepas era Soeharto, perlahan-lahan terkikis juga nasionalisme. Semua bicara reformasi tanpa perduli bahwa reformasi harus ada dasar, tanpa itu reformasi seperti terop kawin yang terbang kena badai.

Saat itu pelan-pelan masuklah kembali paham Negara Islam, paham lama yang dimodifikasi dan diusung pihak yang beragam. Hormat bendera menjadi haram, pancasila di musrikkan dan tumbuhlah organisasi-organisasi radikal yang kearab-araban mengklaim bahwa Islam harus seperti mereka.

Lihatlah buku-buku pelajaran. Islam digambarkan berjenggot dan celana cingkrang, seolah-olah begitulah seharusnya seorang muslim. Sibuk di aksesoris dan ritual dengan meninggalkan konsep “paham”. Pengajian-pengajian dibangun dimana-mana untuk merekrut kader-kader, bukan lagi sebagai tempat pengisian jiwa. Masjid-masjid dibangun sebagai tempat berkumpul ideologi bukan lagi sebagai “rumah” Tuhan.

Belasan tahun mereka membangun itu sejak jatuhnya rezim Soeharto dan hasilnya mulai terlihat sekarang.

Seorang bupati dikejar-kejar ormas tanpa perlindungan aparat. Seorang walikota melindungi ormas yang menentang Pancasila bahkan meresmikan kantornya . Seorang Gubernur duduk bersila dibawah kaki negara Saudi, mengemis minta dana dengan mem-fitnah. Seorang Gubernur bagus diserang karena “kafir” dan tidak boleh memimpin “muslim”.

Nasionalisme yang dibangun kuat oleh Soeharto luntur, seperti bedak terkena hujan. Kikisan-kikisannya menggoyahkan pondasi kenegaraan. Mereka sudah sangat terbuka, terang-terangan menuding dasar negara dan menuntut di bentuknya negara khilafah,

Sudah saatnya Pakde melibatkan penuh NU dan Muhammadiyah dalam meramu konsep pelajaran Islam di sekolah-sekolah. Sertifikasi guru-guru agama di sekolah, juga ustad-ustad dan pelaksanaannya di berikan kepada dua organisasi itu, bukan MUI, sehingga mereka punya koridor nusantara dalam mengajar, bukan koridor timur tengah.

Galakkan kembali hormat bendera dan gaung Pancasila. Jika perlu, paksa sebagai sebuah kewajiban. Sekolah negeri yang tidak melaksankan, beri sanksi. Pakde sudah bagus menyuruh media TV memutar lagu-lagu nasional, tetapi itu jangan dijadikan konsep “jika media TV berkenan”, tetapi harus jadi kewajiban, seperti hal-nya masa Soeharto dulu mewajibkan setiap jam ada berita nasional di semua radio-radio. Ancam cabut ijinnya jika menentang.

Pakde, nasionalisme kita sedang dirongrong, banyak pejabat yang main serong, jangan pakai tendangan memutar lagi untuk ini tapi sudah harus gunakan kungfu peremuk tulang.

Nasionalisme harus dipaksakan sejak kecil, supaya besar nanti anak-anak kami tidak mudah dikadalin radikalis berdagu sarang lebah dan bersorban. Pakde, nasionalisme anak-anak kami terancam.

Pakde, tolong kami…. Masak harus Batman yang turun tangan? Batman hanya bisa bergerak di kegelapan, dan itupun kudu ada kopi dan tahu isi sebagai suguhan.

(Sumber: Facebook Denny Siregar)

Comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

News Feed