by

Nabi SAW dan Non Muslim Abu Al Ash

Namanya juga hidayah, kalau Allah SWT anugerahkan, tidak ada yang bisa melarangnya. Sebaliknya, kalau Allah inginkan dia tersesat, tidak ada seorang pun yang bisa memberi hidayah. Tidak terkecuali Rasulullah SAW sendiri.

Tentu posisi ‘offside’ si Abu Al-Ash ini bikin Rasulullah SAW serba salah. Dia ibarat kerikil di dalam sepatu bagi perjalanan dakwah Rasulullah SAW. Memang hanya kerikil, tapi tetap saja bikin masalah. Justru masalahnya karena dia kerikil.

Maksudnya bahwa Abu Al-Ash ini secara kepribadian sangat baik kepada sang mertua dan amat mencintai puterinya, Zainab binti Rasulullah SAW. Abu Al-Ash ini tidak membenci agama Islam, tidak benci Rasulullah SAW, dan tidak ikut-ikutan memusuhi dakwah Islam.

Tapi dia juga tidak mau beriman atau menyatakan masuk Islam. Posisinya buat sebagian orang jadi agak tanggung. Secara status kafir sih, tapi secara hubungan sangat baik dan tidak memusuhi.

Perbedaan iman tidak harus melunturkan cintanya pada puteri Rasulullah SAW. Zainab pun demikian, tidak terpikir dalam dirinya untuk minta cerai lalu kawin lagi dengan laki-laki muslim yang shaleh.

Zainab tetap setia kepada suaminya, meski masih belum masuk ikut agama Islam. Situasi ini menjadi kisah dilemma dan drama. Haruskah cinta dikorban karena perbedaan iman?

Haruskan suami istri yang saling mencinta, harus dibubarkan hanya karena hidayah belum turun?

Inilah lakon romantis namun merupakan kejadian nyata yang langsung dialami puteri Rasulullah SAW.

Cinta kasih pasangan ini mulai teruji ketika turun perintah berhijrah ke Madinah. Rupanya Zainab rela tetap tinggal di Mekkah tidak ikut rombongan yang hijrah ke Madinah.

Rasulullah SAW sendiri juga amat memahami dilemma ini. Tidak sampai hati memerintahkan puteri yang amat disayanginya untuk berpiusah dari laki-laki yang disayangi. Cintanya begitu suci, begitu juga cinta suaminya padanya. Haruskah perbedaan keyakinan memisahkan keduanya?

Maka Zainah setia menemani suaminya tinggal di Mekkah, sampai terjadi Perang Badar di tahun kedua hijriyah. Abu Al-Ash ternyata ikut dalam perang itu, sebagai orang kafir dan menjadi salah satu dari 1000 orang musyrikin Mekkah.

Namun pasukan muslimin berhasil mematahkan serangan kalangan musyrikin Mekkah. Sebagian mati dan sebagian ditawan jadi tahanan. Abu Al-Ash ternyata ada di dalam daftar tawanan itu.

Ketika turun kebijakan bahwa tawanan akan dibebaskan dengan syarat keluarganya harus membayar sejumlah harta tebusan, Abu Al-Ash mengirim utusan ke Mekkah untuk mengirimkan harta untuk menebus dirinya.

Zainah sebagai istri tentu khawatir sekali atas keselamatan suaminya. Dikiriminya Abu Al-Ash sebuah kalung emas yang selama ini melekat di lehernya, sebagai tebusan atas pembebasan sang suami.

Ketika Rasulullah SAW menerima harta tebusan itu, Beliau SAW pun kaget. Sebab benda itu amat dikenalinya. Ya, kalung emas itu dulunya milik mendiang istri tercinta Khadijah radhiyallahuanha.

RAsulullah SAW teringat dulu memang kalung itu diberikan Khadijah kepada puteri pertama mereka, Zaenab, ketika melangsungkan pernikahan dengan Abu Al-Ash. Kalung itu diberikan sebagai hadiah pernikahan.

Kini kalung emas itulah yang dikirimkan Zaenab kepada ayahanda sendiri untuk dijadikan tebusan bagi Abu Al-Ash. Tidak terasa setetes air mata hangat mengalir dari sudut mata Rasulullah SAW.

Beliau teringat kenangan masa-masa indah dulu saat bersama istri tercinta Khadijah. Juga teringat pula dengan puteri pertamanya, Zaenab, yang kini lagi menangisi suaminya yang tertangkap jadi tawanan di Perang Badar. Ditangkap oleh ayahandanya sendiri.

Tentu kebijakan masalah tawanan ini sepenuhnya merupakan hak preogratif Rasulullah SAW. Apapun keputusan Beliau, menjadi hukum yang syar’i.

Maka Rasulullah SAW berinisiatif membebaskan sang menantu tanpa harus memberinya uang tebusan. Tapi Abu Al-Ash diminta Beliau SAW untuk membolehkan dan merelakan istrinya, Zainab binti Rasulullah SAW, untuk berhijrah ke Madinah.

Bukan bercerai dalam arti mentalak, bukan. Tapi izin saja Zainah hijrah ke Madinah. Abu Al-Ash pun menerima syarat itu, meski dengan berat hati. Harga pembebasan dirinya harus dibayarkan dengan harga yang jauh lebih mahal, yaitu harus pisah jarak dengan istri tercintanya.

Mendengar kabar Abu Al-Ash dibebaskan tanpa harus membayar tebusan harta apapun, tentu saja para pemuka Quraisy bergembira. Sebab mereka berpikir bahwa Muhammad itu terlalu mudah unntuk dibohongi oleh tawanan.

Bayangkan, tawanan di tangan dilepas hanya dengan sebuah janji. Sama sekali tidak ada jaminan apapun. Ini bukan kasus pertukaran tawanan seperti yang sering kita lihat di film.

Yang terjadi Abu Al-Ash dibebaskan tanpa membayar apapun bahkan tanpa jaminan apapun. Bisa saja sesampainya di Mekkah, Abu Al-Ash mangkir dari janjinya. Toh dia sama sekali tidak kehilangan apa pun.

Namun disitulah uniknya, rupanya Abu Al-Ash tidak sampai hati mendustai lawannya yang begitu jujur itu. Ya, tidak tidak ingin berkhianat atas janji yang sudah diucapkannya sendiri, walau pun isi janjinya itu amat menyakitkan.

Bagaimana tidak, dia harus rela berpisah dengan istrinya tercinta.

Tentu saja para pemuka Mekkah menolak mentah-mentah niat Abu Al-Ash untuk merelakan Zainab pergi ke Madinah.

“Bodoh sekali kalau sampai kamu kehilangan Zainab. Buat apa harus memenuhi janji kepada lawan? Buat apa harus jujur lagi amanah terhadap musuh kita sendiri? You Know, its war. Ini perang Bro. Dan perang itu tipu daya”.

Maka Abu Al-Ash pun kembali mengalami dilemma parah. Di satu sisi dia memang tidak rela berpisah dengan istri tercinta. Lagian para pimpinan Mekkah melarangnya melepas istrinya ke Madinah.

Tapi di sisi lain, malu rasanya kalau ingkar janji. Hatinya tidak bisa menerima sikap kerdil macam ini.

Maka dia tetapkan untuk memenuhi janjinya kepada mertuanya, meski dia harus bersusah payah menyelundupkan istrinya, menghindari kejaran mata-mata dan tentara Mekkah.

Bayangkan, menyelundupkan istrinya ke Madinah, hanya demi agar memenuhi janjinya kepada musuhnya, sekaligus mertuanya sendiri. Dan resikonya akan kehilangan istri. Dilema dan dilema.

-oOo-

Tidak sabar dengan endingnya?

Ok, kita percepat saja, pencet tombol forward >>

Lalu akhirnya Abu Al-Ash pun dapat hidayah, dia menyatakan masuk Islam dan menyusul istrinya ke Madinah. Rasulullah SAW tersenyum lebar dan menyambut sang menantu dengan dua tangan terbuka lebar.

Abu Al-Ash langsung bertemu lagi dengan istrinya. Mereka masih tetap suami istri dan tidak perlu ritual akad nikah ulang. Para ulama fiqih 4 mazhab sepakat hal itu.

Sumber : Status Facebook Ahmad Sarwat Lc MA

Comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

News Feed