by

Nabi Barbie

Oleh : Feriawan Agung Nugroho

Ini Cuma grenengan saya setelah nonton film Barbie yang dibintangi Margot Robbie dan Ryan Gosling. Saya pikir ini film untuk anak-anak asuh saya yang perempuan. Eh tak taunya kok film komedi serius yang kental dengan nuansa perenungan tentang feminisme, gender. Postmodern. Tak pikir..asyik juga ini.

Sejak awal pembukaan film, ada semacam provokasi bahwa Barbie itu simbol pencerahan, pengayaan imajinasi bocah perempuan yang sebelumnya hanya tahu boneka bayi. Boneka bayi mengkonstruksi otak anak-anak perempuan bahwa cita-cita mereka tidak lebih dari tukang momong bocah, masak, isah-isah, ngurus omah dan ranah rumah tangga semata. Boneka barbie lahir, hadir dan mengubah keadaan, menjadi bagian dari perlawanan imajinasi itu. Boneka barbie hadir sebagai boneka dengan figur gadis mateng yang cantik, berkilau, sugih mblegenuk, punya rumah dengan sekian banyak baju ganti, makeup. Dari sini imajinasi anak perempuan dikonstruksi ulang. Bahwa bahagianya perempuan adalah bahagianya Barbie. Bahagianya di dunia Barbie.

Pada akhirnya dunia barbie itu berbenturan dengan kenyataan yang ada. Banyak bias. Di dunia barbie itu wong wedok dominan dan Ken, boneka pria itu, hanya aksesories yang jadi pelengkap penderita. Imajinasi dominan hanyalah boneka Barbie. Sementara boneka Ken itu pun disimbolkan sebagai lelaki yang jauh dari kesan macho, jantan, sangar, dominan, pejuang dan tangguh. Bukan. Ken tidak mempunyai pedang panjang yang kalau berjalan prok-prok-prok. Tidak. Barbie pun tetap eksis walau tanpa Ken. Barbie juga tidak pernah identik menjadi pasangan Ken. Kalau perempuan pada ingin jadi seperti barbie, tetapi laki-laki manapun nggak ada yang pengen menjadi seperti Ken. Pecundang di dunia perempuan.

Nha ceritanya jadi menarik, karena Barbie itu tidak metching di dunia nyata. Di dunia nyata perempuan harus strugle berjuang menemukan peran. Dunia nyata itu begitu pathriarkal. Bahkan perusahaan Mattel, pabriknya Barbie, pun yang menguasai laki-laki semua. Perempuan kalah oleh laki-laki. At least, kelahiran Barbie hanyalah mencetak imajinasi belaka tentang perempuan sempurna tanpa adanya proses berjuang, berusaha, bersaing, berdarah-darah. Imajinasi yang membuat perempuan lemah karena tidak sadar bahwa uripe wong wedok itu rekoso dan lebih banyak didekte oleh laki-laki.

Kaum feminis, dalam film ini, bahkan menuduh Barbielah yang berperan dalam kemunduran perjuangan perempuan sejak dia diciptakan. Barbie membuat banyak perempuan yang tidak identik dengan figur Barbie menjadi membenci diri mereka sendiri yang tidak pirang, tidak langsing, tidak tinggi, tidak glowing, tidak kaya dll. Barbie menjadi icon yang merusak kekayaan budaya yang beragam. Objek seksual kapitalisme, imajinasi yang melahirkan obsesi tentang fisik dan kondisi mental sosial perempuan yang tidak realistis. Sejak 50 tahun lalu Barbie dituduh merendahkan harga diri anak-anak perempuan yang berbeda-beda nasibnya. Mental konsumeris, sosialita, glamor, modis. Boneka barbie, adalah simbol aib dari sejarah kemerdekaan perempuan.

Film ini kemudian menyajikan autokritik: lha nek dunia barbie dibuat serealistis dengan dunia nyata, apakah jadi lebih fair? Ternyata enggak jugak! Malah tambah rusak karena dunia nyata yang penuh dengan penjajahan perempuan, akan mempengaruhi mental perempuan untuk pasrah menjadi jajahan pria. Bahwa pria berkuasa itu takdir dan boneka barbie yang direfleksikan pada dunia nyata hanyalah perempuan tukang ngeladeni pria, tukang macak, tukang menghibur pria. Perempuan perempuan yang bahagia menjadi kelas dua dan tidak sadar bahwa dia direndahkan. Bahkan menikmati posisinya yang direndahkan itu. Perempuan yang identik dengan kaum wegah mikir.

Terus gimana dong Barbie yang ideal itu? Jawabnya ya tidak ada. Tetapi kisruh dari dunia Barbie yang dirampas oleh dominasi pria itu harus dilawan. Itu yang harus dilakukan oleh perempuan. Bahwa perempuan itu harus merdeka untuk menentukan nasibnya sendiri, menentukan di mana pisisinya, kemerdekaanya, tindakannya dan segala sesuatunya tanpa harus ada dalam bayang-bayang laki-laki. Perempuan harus berkesadaran. Tidak ada yang lebih cantik antara pakai make-up dan tidak pakai make-up, selain dirinya sendiri merasa cantik dan lingkungan menerimanya. Tidak ada yang lebih tinggi antara ibu rumah tangga dan wanita karier kecuali itu menjadi bagian dari kebahagiaanya. Mau single atau nikah, bukan ukuran untuk mengukur bahagia tidaknya perempuan. Semua atas dasar kesadaran.

Tapi bagaimana jika kesadaran itu pada akhirnya membunuh Barbie, menghilangkan imajinasi perempuan tentang dunia Barbie yang pink dan wow itu? Ya gakpapa. Kalau Barbie harus mati, ya mati saja. Yang penting perempuan sedunia bahagia.

Terus? Gimana dong laki-laki kalau perempuan jadi merdeka? Ya nggak gimana-gimana. Laki-laki juga tetap laki-laki meski menangis, meski pakai baju pink, meski gayanya melambai. Tidak melulu menjadi satria berkuda yang datang dengan tatapan mata tajam dan lengkingan membahana.

Gitu lah kira-kira. Kira-kira lho yaa…(*)

Sumber : Status Facebook Feriawan Agung Nugroho

Comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

News Feed